Showing posts with label Sakramen-sakramen. Show all posts
Showing posts with label Sakramen-sakramen. Show all posts
Friday, June 8, 2012
Saturday, May 26, 2012
Pater, Pergilah Menerima Sakramen Tobat!
Ada empat alasan utama mengapa banyak imam meninggalkan imamatnya:
1. Karena mereka menolak berdoa setiap hari.
2. Karena mereka tidak berusaha menghindari dosa dan melupakan bahwa kebijaksanaan adalah sains dari Para Orang Kudus.
3. Karena mereka tidak memiliki kerendahan hati dan keberanian untuk menerima Sakramen Tobat yang kudus secara benar dan teratur.
4. Karena mereka hidup dalam keadaan berdosa berat tetapi tetap merayakan Ekaristi. Bila imam dalam keadaan berdosa berat tetap merayakan Misa Kudus, maka ia telah melakukan dosa sakrilegi (melecehkan hal-hal yang suci) sekalipun Misa yang dirayakannya tetap sah. Kemudian, bila imam berada dalam keadaan berdosa berat, bagaimana bisa ia memberi homili dalam inspirasi, terang dan kekuatan Roh Kudus? Bagaimana bisa ia memberi homili sementara ia terikat pada dosa berat?
Pesan dari dombamu: Romo/Pater, pergilah untuk menerima Sakramen Pengakuan yang kudus, dan kemudian jadilah pengkhotbah yang mengagumkan. Roh Kudus akan berbicara kepadamu dan melaluimu, dan engkau akan menyelamatkan ribuan jiwa yang sedang berjalan menuju neraka.
Suatu hari di sebuah paroki, St. Yohanes Maria Vianney, Imam Kudus dari kota kecil Ars, menerima kunjungan dari seorang imam muda. Imam muda ini memiliki ketertarikan yang besar untuk mengenal Imam Kudus dari Ars ini secara pribadi. Setelah makan siang, Imam Kudus ini berkata kepada imam muda tersebut: �Apakah dirimu bersedia untuk mendengarkan pengakuan dosa saya?� Imam muda ini seketika tersungkur dari kursinya mendengar permintaan dari Imam Kudus yang mengagumkan dan terkenal akan kekudusannya. Santo-Santa mengaku dosa, menerima Sakramen Tobat! Dan mereka yang menerima Sakramen Tobat menjadi Santo-Santa.
Remember...
If the priest is a saint, his people will be holy.
If the priest is holy, his people will be good.
If the priest is good, his people will be fair.
If the priest is fair, his people will be mediocre.
If the priest is mediocre, his people will be bad.
Silahkan sebarkan artikel ini kepada para imam kita sebab sebagai umat pun, kita mempunyai hak dan kewajiban untuk mengingatkan para imam kita agar mengusahakan kekudusan hidup mereka sendiri. Pax et Bonum
Artikel ini dimuat juga di Buletin Lentera Iman milik Komsos Keuskupan Agung Makassar edisi 41 Juni 2012
Saturday, April 28, 2012
Orang Tua yang Berbahagia, Segeralah Baptis Anak Anda!
Paus Benediktus XVI sedang membaptis seorang bayi. (sumber: catholicregister.org) |
Orang Tua yang Berbahagia, Segeralah Baptis Anak Anda!
Ada sebuah tren di masa sekarang di mana orang tua Katolik lebih memilih membaptis anaknya pada usia yang dianggap mereka pantas atau cukup dewasa ketimbang membaptis anaknya pada saat bayi. Seorang anak murid saya (kelas 2 SMP) ternyata hingga sekarang masih belum dibaptis. Ketika saya tanya alasannya kenapa demikian, ia berkata bahwa orangtuanya menunggu agar ia dewasa dahulu, mencapai usia 17 tahun barulah ia dibaptis.
Hal ini mungkin terjadi karena kurangnya kesadaran orang tua akan perlunya pembaptisan bagi anak-anak mereka. Bisa jadi pula karena terpengaruh oleh pandangan-pandangan saudara terpisah Protestan yang menolak pembaptisan bayi. Apa yang umumnya menjadi alasan para orang tua Katolik menunda pembaptisan bagi anak-anak mereka adalah mereka ingin agar anak-anak mereka terlebih dahulu memahami dan mengetahui ajaran-ajaran Kristus sehingga anak-anak mereka dengan kesadaran mereka sendiri mengakui Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat serta memilih bersatu dalam Gereja Katolik. Di sini kita melihat bahwa orang tua yang demikian secara tidak langsung menganggap karunia iman haruslah diterima ketika seorang anak mampu menggunakan nalar mereka.
Hal ini sebenarnya memprihatinkan. Mengapa? Karena dengan demikian para orang tua memperpanjang masa resiko bagi anak-anak mereka untuk kehilangan meterai keselamatan yang harusnya diterima mereka segera sesudah mereka lahir. Untuk itu, saya dalam tulisan ini hendak menyampaikan pesan kepada para orang tua Katolik supaya segera membaptis anak-anak mereka, supaya segera memberikan meterai keselamatan bagi mereka,
Mari kita mulai dulu dengan apa itu Pembaptisan. Saya kutip dari Katekismus Gereja Katolik:
KGK 1213 Pembaptisan suci adalah dasar seluruh kehidupan Kristen, pintu masuk menuju kehidupan dalam roh [vitae spiritualis ianua] dan menuju Sakramen-sakramen yang lain. Oleh Pembaptisan kita dibebaskan dari dosa dan dilahirkan kembali sebagai putera-puteri Allah; kita menjadi anggota-anggota Kristus, dimasukkan ke dalam Gereja dan ikut serta dalam perutusannya: "Pembaptisan adalah Sakramen kelahiran kembali oleh air dalam Sabda" (Catech. R. 2,2,5).KGK 1257 Tuhan sendiri mengatakan bahwa Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan Bdk. Yoh 3:5.. Karena itu, Ia memberi perintah kepada para murid-Nya, untuk mewartakan Injil dan membaptis semua bangsa Bdk. Mat 28:19-20; DS 1618; LG 14; AG 5.. Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan orang-orang, kepada siapa Injil telah diwartakan dan yang mempunyai kemungkinan untuk memohon Sakramen ini Bdk. Mrk 16:16.. Gereja tidak mengenal sarana lain dari Pembaptisan, untuk menjamin langkah masuk ke dalam kebahagiaan abadi. Karena itu, dengan rela hati ia mematuhi perintah yang diterimanya dari Tuhan, supaya membantu semua orang yang dapat dibaptis, untuk memperoleh "kelahiran kembali dari air dan Roh". Tuhan telah mengikatkan keselamatan pada Sakramen Pembaptisan, tetapi Ia sendiri tidak terikat pada Sakramen-sakramen-Nya.
Melihat dua pernyataan Katekismus Gereja Katolik di atas, kita bisa mengetahui bahwa Sakramen Pembaptisan itu begitu penting dalam tata keselamatan kita, pembaptisan itu perlu bagi kita untuk keselamatan kita. Tidak ada cara lain untuk menjamin keselamatan kita selain Pembaptisan. Rahmat apa saja yang kita terima melalui pembaptisan sehingga dikatakan pembaptisan itu penting bagi keselamatan kita? Saya akan mengacu lagi kepada Katekismus Gereja Katolik.
Pembaptisan yang kita terima membuahkan:
1. Pengampunan seluruh dosa kita termasuk dosa asal yang kita terima dari Adam dan Hawa (bdk. Katekismus Gereja Katolik 1263 dan 1279)
2. Pemberikan meterai tak terhapuskan yang menggabungkan kita dengan Kristus (bdk. KGK 1272-1274 dan 1279)
3. Persatuan dengan Gereja-Nya (bdk. KGK 1267 dan 1279)
4. Pengangkatan kita sebagai anak-anak Allah (bdk. KGK 1265 dan 1279)
5. Kesatuan Sakramental dari Kesatuan Kristen (bdk. KGK 1271)
Inilah buah-buah pembaptisan itu. Inilah yang diterima oleh anak-anak ketika mereka dibaptis. Setiap manusia (kecuali Kristus dan Maria), dilahirkan dalam kodrat manusia yang jatuh dan dinodai dosa asal. Sebagai akibat dosa asal, setiap manusia mengalami "mati kekudusan" yang menghalangi mereka untuk menjadi anak-anak Allah. Oleh karena itu mereka membutuhkan kelahiran kembali di dalam pembaptisan agar mereka dimasukkan ke dalam kerajaan Allah, dipersatukan dengan Kristus dan Gereja-Nya dan tentunya diangkat menjadi anak-anak Allah. Pembaptisan memerdekakan anak-anak dari penjara dosa asal. Oleh karena itu, "Gereja dan orang-tua akan menghalangi anak-anaknya memperoleh rahmat tak ternilai menjadi anak Allah, kalau mereka tidak dengan segera membaptisnya sesudah kelahiran." (KGK 1250)
Kitab Hukum Kanonik juga menyatakan:
KHK No. 867 Point 1 dan 2. Para orangtua wajib mengusahakan agar bayi-bayi dibaptis dalam minggu-minggu pertama; segera sesudah kelahiran anaknya, bahkan juga sebelum itu, hendaknya menghadap pastor paroki untuk memintakan sakramen bagi anaknya serta dipersiapkan dengan semestinya untuk itu. Bila bayi berada dalam bahaya maut, hendaknya dibaptis tanpa menunda-nunda.
Kristus sendiri pernah berkata, "sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah." (Yoh 3:5). Di sini Kristus menekankan perlunya kelahiran kembali dalam pembaptisan untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sementara itu, di ayat lain Kristus berkata: "Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah." (Luk 18:16). Bila anak-anak adalah empunya Kerajaan Allah dan jalan pertama agar masuk ke dalamnya adalah melalui pembaptisan, maka dari itu pembaptisan bayi adalah begitu penting untuk dilaksanakan.
St. Hipolitus dari Roma dalam tulisan Tradisi Para Rasul yang ditulis pada tahun 215 M mengatakan, "Anak-anak haruslah dibaptis pertama kali. Semua anak yang dapat menanggapi [pembaptisan] untuk dirinya sendiri, hendaklah mereka menanggapinya. Bila ada anak-anak yang tidak dapat menanggapi [pembaptisan] untuk dirinya sendiri, hendaklah orang tua mereka menanggapinya untuk mereka, atau seseorang lain dari keluarga mereka."
Sedangkan Bapa Gereja St. Gregorius dari Nazianzen mengatakan: "Apakah anda memiliki anak bayi? Jangan biarkan dosa memiliki kesempatan. Hendaklah anak bayi dikuduskan sejak masa kecilnya. Dalam usianya yang termuda, biarkanlah dia dikuduskan oleh Roh Kudus." (Oration on Holy Baptism, 40:7 [388 M]
Dengan demikian, baik Tradisi Suci, Kitab Suci, maupun Magisterium Gereja menekankan pentingnya pembaptisan bayi bagi keselamatan bayi-bayi itu sendiri.
Tentang pembaptisan bayi ini, kita juga bisa melihat bahwa iman adalah karunia Allah bagi semua manusia dari segala usia termasuk usia 1 jam, 1 hari, atau 1 tahun. Bagi bayi-bayi, dalam pembaptisannya, mereka akan menerima iman akan Allah. Tentu pembaptisan walau penting dan perlu untuk keselamatan, tetapi tidaklah cukup. Anak-anak itu harus bertambah, tumbuh besar dan hidup dalam iman. Pada usianya yang masih kecil, iman itu haruslah sudah mereka terima melalui pembaptisan. Tetapi iman itu yang mereka terima itu bagaikan sebuah hadiah istimewa Allah yang terbungkus oleh kertas kado yang harus dibuka, diungkapkan, dijelaskan dan diajarkan oleh orang tua mereka setiap hari.
Oleh karena itu, bersegeralah membaptis anak-anak anda, hai orang tua yang berbahagia.
Pax et bonum
Wednesday, April 18, 2012
Respon Indonesian Papist Terhadap Peristiwa Berubahnya Hosti menjadi Darah di Yogyakarta
Ekaristi (sumber gambar: olivyaz.blogspot.com) |
Belakangan ini, dunia per-facebook-an diramaikan oleh berita berubahnya Roti yang sudah dikonsekrasi menjadi Darah di Paroki St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji, Yogyakarta. Salah satu beritanya dapat ditemukan di sini: Sesawi.Net.
Sebagai seorang Katolik, bagaimana Indonesian Papist menyikapi hal ini? Yang pasti saya tidak akan terikut arus euforia yang ada sekarang dengan menggembar-gemborkan ke sana sini atau menanggapi berita ini secara berlebihan. Tidaklah salah untuk menceritakan kepada orang sekadar sebagai informasi adanya kejadian seperti ini terlepas diakui atau tidak peristiwa ini sebagai mujizat oleh Gereja tetapi euforia terhadap suatu peristiwa yang diduga mujizat bukanlah sikap yang tepat. Bagaimana seandainya Gereja menemukan cacat pada peristiwa ini di kemudian waktu sehingga akhirnya peristiwa ini tidak diakui sebagai mujizat? Bukankah akan memalukan diri kita sendiri ketika kita saking senangnya akan hal ini lalu menggembar-gemborkan ke sana ke mari dengan berkata �ini mujizat� dan ternyata di kemudian waktu peristiwa ini tidak diakui oleh Gereja sebagai mujizat? Ingat, St. Paulus pernah mengingatkan kita bahwa iblis pun bisa menyamar sebagai malaikat terang dan membuat mujizat.
Melihat informasi yang ada sekarang per tanggal 18 April 2012, peristiwa ini masih dalam proses penyelidikan gerejawi dan sekarang sikap yang harusnya kita ambil adalah MENUNGGU dan BERHARAP. Menunggu keputusan final Gereja sembari berharap peristiwa ini benar-benar mujizat yang diakui oleh Gereja. Inilah sikap yang saya pikir tepat untuk menanggapi peristiwa ini. Tentu saya berharap peristiwa ini benar-benar mujizat karena akan ada banyak efek positif yang bisa didapat dari hal ini. Bagi mereka yang sudah memiliki tradisi menerima Komuni di lidah sambil berlutut, maka peristiwa ini adalah peneguhan bagi mereka supaya mereka tetap melanjutkan tradisi universal ini. Bagi mereka yang awalnya menganggap Ekaristi hanyalah lambang, sekarang mengoreksi pandangan mereka dan meyakini bahwa Ekaristi adalah sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus. Itulah efek positif yang saya pikir bisa didapatkan dari peristiwa ini.
Dalam sebuah kisah mengenai St. Louis IX (saya lupa linknya di mana ^_^ ), disebutkan bahwa St. Louis IX, Raja Prancis, ketika berada di ruang kerjanya menerima kabar dari pelayannya bahwa Kanak-kanak Yesus menampakkan diri dalam Hosti di altar saat pentahtaan Sakramen Ekaristi. Bagaimana respon St. Louis IX? Dia berkata kira-kira seperti ini �Keyakinanku akan kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi tidak akan menjadi lebih bertambah seandainya aku melihat suatu mujizat Ekaristi. Mujizat itu tidak diperlukan lagi oleh mereka yang sudah percaya akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi.� St. Louis IX pun akhirnya tetap melanjutkan kegiatannya pada saat itu. Demikian pula Indonesian Papist. Studi Katolisisme yang saya lakukan selama hidup saya membuat saya sudah sangat yakin bahwa kehadiran Yesus Kristus dalam rupa Roti dan Anggur pada Ekaristi adalah sebuah kebenaran yang absolut, tidak dapat ditolak lagi. Bagi saya, setiap kali Imam mengkonsekrasikan roti altar dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus dalam Ekaristi, pada saat itulah mujizat-mujizat Ekaristi yang tak kelihatan terjadi. Dan saya berpikir lagi, setiap hari (atau malah setiap jam) mujizat-mujizat tak kelihatan ini terjadi terus-menerus pada Misa Harian dan Misa hari Minggu di seluruh dunia. Jadi, peristiwa ini entah diakui benar atau tidak oleh Gereja tidak akan mempengaruhi keyakinan saya akan kehadiran nyata Kristus dalam Sakramen Ekaristi.
Peristiwa ini, terlepas kelak benar atau tidaknya menurut Gereja, hendaklah membantu kita untuk merenungkan dan menyadari sikap kita dalam Perayaan Ekaristi.
1. Apakah kita selama ini menyadari dan percaya bahwa yang setiap hari Minggu kita sambut dalam perayaan Ekaristi adalah sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Tuhan kita Yesus Kristus? Atau kita masih menganggap sekadar lambang saja?2. Apakah kita sudah mempersiapkan jiwa dan raga kita semaksimal mungkin untuk menyambut Dia yang hadir dalam Ekaristi? Atau kita hanya sekadar mempersiapkan seadanya?3. Apakah kita, dalam menyambut Tubuh dan Darah Kristus pada saat Perayaan Ekaristi, menggunakan pakaian yang sopan dan pantas? Atau kita masih memilih secara asal-asalan pakaian yang hendak digunakan dalam menyambut-Nya, Sang Raja kita?4. Dalam 1 Korintus 11:27, Paulus mengajarkan, �Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan.� Apakah kita telah memeriksa batin, merenung dan menyadari apakah kita sedang berada dalam keadaan berdosa berat atau tidak? Sebab, jikalau kita berada dalam berdosa berat, kita tidak boleh dan tidak layak menyambut Tubuh dan Darah-Nya. [7]5. Apakah kita mengikuti Perayaan Ekaristi dengan khusuk dan fokus? Atau, karena merasa bosan, kita memilih untuk bermain handphone, facebook-an, sms-an, berbicara dengan teman di sebelah, lirik-lirik tidak jelas dan sebagainya?6. Apakah kita mengucapkan teks-teks dalam Perayaan Ekaristi dengan penuh penghayatan dan tenang? Atau kita sekadar mengucapkannya secara asal-asalan?7. Apakah kita menghadiri Perayaan Ekaristi karena kita memang membutuhkan makanan rohani kita? Atau sekadar memenuhi kewajiban dan rutinitas?
Semoga artikel ini bermanfaat. Pax et Bonum
Respon Indonesian Papist Terhadap Peristiwa Berubahnya Hosti menjadi Darah di Yogyakarta by Robby Kristian Sitohang is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 3.0 Unported License. Based on a work at indonesian-papist.blogspot.com.
Respon Indonesian Papist Terhadap Peristiwa Berubahnya Hosti menjadi Darah di Yogyakarta
Ekaristi (sumber gambar: olivyaz.blogspot.com) |
Belakangan ini, dunia per-facebook-an diramaikan oleh berita berubahnya Roti yang sudah dikonsekrasi menjadi Darah di Paroki St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji, Yogyakarta. Salah satu beritanya dapat ditemukan di sini: Sesawi.Net.
Sebagai seorang Katolik, bagaimana Indonesian Papist menyikapi hal ini? Yang pasti saya tidak akan terikut arus euforia yang ada sekarang dengan menggembar-gemborkan ke sana sini atau menanggapi berita ini secara berlebihan. Tidaklah salah untuk menceritakan kepada orang sekadar sebagai informasi adanya kejadian seperti ini terlepas diakui atau tidak peristiwa ini sebagai mujizat oleh Gereja tetapi euforia terhadap suatu peristiwa yang diduga mujizat bukanlah sikap yang tepat. Bagaimana seandainya Gereja menemukan cacat pada peristiwa ini di kemudian waktu sehingga akhirnya peristiwa ini tidak diakui sebagai mujizat? Bukankah akan memalukan diri kita sendiri ketika kita saking senangnya akan hal ini lalu menggembar-gemborkan ke sana ke mari dengan berkata �ini mujizat� dan ternyata di kemudian waktu peristiwa ini tidak diakui oleh Gereja sebagai mujizat? Ingat, St. Paulus pernah mengingatkan kita bahwa iblis pun bisa menyamar sebagai malaikat terang dan membuat mujizat.
Melihat informasi yang ada sekarang per tanggal 18 April 2012, peristiwa ini masih dalam proses penyelidikan gerejawi dan sekarang sikap yang harusnya kita ambil adalah MENUNGGU dan BERHARAP. Menunggu keputusan final Gereja sembari berharap peristiwa ini benar-benar mujizat yang diakui oleh Gereja. Inilah sikap yang saya pikir tepat untuk menanggapi peristiwa ini. Tentu saya berharap peristiwa ini benar-benar mujizat karena akan ada banyak efek positif yang bisa didapat dari hal ini. Bagi mereka yang sudah memiliki tradisi menerima Komuni di lidah sambil berlutut, maka peristiwa ini adalah peneguhan bagi mereka supaya mereka tetap melanjutkan tradisi universal ini. Bagi mereka yang awalnya menganggap Ekaristi hanyalah lambang, sekarang mengoreksi pandangan mereka dan meyakini bahwa Ekaristi adalah sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus. Itulah efek positif yang saya pikir bisa didapatkan dari peristiwa ini.
Dalam sebuah kisah mengenai St. Louis IX (saya lupa linknya di mana ^_^ ), disebutkan bahwa St. Louis IX, Raja Prancis, ketika berada di ruang kerjanya menerima kabar dari pelayannya bahwa Kanak-kanak Yesus menampakkan diri dalam Hosti di altar saat pentahtaan Sakramen Ekaristi. Bagaimana respon St. Louis IX? Dia berkata kira-kira seperti ini �Keyakinanku akan kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi tidak akan menjadi lebih bertambah seandainya aku melihat suatu mujizat Ekaristi. Mujizat itu tidak diperlukan lagi oleh mereka yang sudah percaya akan kehadiran Kristus dalam Ekaristi.� St. Louis IX pun akhirnya tetap melanjutkan kegiatannya pada saat itu. Demikian pula Indonesian Papist. Studi Katolisisme yang saya lakukan selama hidup saya membuat saya sudah sangat yakin bahwa kehadiran Yesus Kristus dalam rupa Roti dan Anggur pada Ekaristi adalah sebuah kebenaran yang absolut, tidak dapat ditolak lagi. Bagi saya, setiap kali Imam mengkonsekrasikan roti altar dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus dalam Ekaristi, pada saat itulah mujizat-mujizat Ekaristi yang tak kelihatan terjadi. Dan saya berpikir lagi, setiap hari (atau malah setiap jam) mujizat-mujizat tak kelihatan ini terjadi terus-menerus pada Misa Harian dan Misa hari Minggu di seluruh dunia. Jadi, peristiwa ini entah diakui benar atau tidak oleh Gereja tidak akan mempengaruhi keyakinan saya akan kehadiran nyata Kristus dalam Sakramen Ekaristi.
Peristiwa ini, terlepas kelak benar atau tidaknya menurut Gereja, hendaklah membantu kita untuk merenungkan dan menyadari sikap kita dalam Perayaan Ekaristi.
1. Apakah kita selama ini menyadari dan percaya bahwa yang setiap hari Minggu kita sambut dalam perayaan Ekaristi adalah sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Tuhan kita Yesus Kristus? Atau kita masih menganggap sekadar lambang saja?2. Apakah kita sudah mempersiapkan jiwa dan raga kita semaksimal mungkin untuk menyambut Dia yang hadir dalam Ekaristi? Atau kita hanya sekadar mempersiapkan seadanya?3. Apakah kita, dalam menyambut Tubuh dan Darah Kristus pada saat Perayaan Ekaristi, menggunakan pakaian yang sopan dan pantas? Atau kita masih memilih secara asal-asalan pakaian yang hendak digunakan dalam menyambut-Nya, Sang Raja kita?4. Dalam 1 Korintus 11:27, Paulus mengajarkan, �Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan.� Apakah kita telah memeriksa batin, merenung dan menyadari apakah kita sedang berada dalam keadaan berdosa berat atau tidak? Sebab, jikalau kita berada dalam berdosa berat, kita tidak boleh dan tidak layak menyambut Tubuh dan Darah-Nya. [7]5. Apakah kita mengikuti Perayaan Ekaristi dengan khusuk dan fokus? Atau, karena merasa bosan, kita memilih untuk bermain handphone, facebook-an, sms-an, berbicara dengan teman di sebelah, lirik-lirik tidak jelas dan sebagainya?6. Apakah kita mengucapkan teks-teks dalam Perayaan Ekaristi dengan penuh penghayatan dan tenang? Atau kita sekadar mengucapkannya secara asal-asalan?7. Apakah kita menghadiri Perayaan Ekaristi karena kita memang membutuhkan makanan rohani kita? Atau sekadar memenuhi kewajiban dan rutinitas?
Semoga artikel ini bermanfaat. Pax et Bonum
Respon Indonesian Papist Terhadap Peristiwa Berubahnya Hosti menjadi Darah di Yogyakarta by Robby Kristian Sitohang is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 3.0 Unported License. Based on a work at indonesian-papist.blogspot.com.
Monday, April 2, 2012
Yudas, Petrus dan Kerahiman Allah
Ikon Pengkhianatan Yudas |
Para Penulis Injil mengemukakan dua kejadian. Pengkhianatan Yudas dihadapkan pada penyangkalan Petrus dan penyesalan Petrus dihadapkan pada kematian Yudas yang sangat tragis.
Kita ditempatkan dalam suatu keadaan yang amat prihatin: Yesus dikuasai sepenuhnya oleh musuh-musuh-Nya, dikhianati oleh seorang murid, ditinggalkan teman-teman-Nya dan disangkal secara tegas oleh seorang dari mereka. Dari pihak Petrus sendiri, keadaan ini pun sangat prihatin. Cintakasihnya, kesetiaannya, keyakinannya akan kemampuan pribadi dan keberaniannya ternyata tidak cukup. Ia ternyata tidak mampu menghadapi bahaya. Apa yang terjadi di sini tidak merupakan kejadian yang berdiri sendiri. Sampai akhir zaman, Kristus selalu akan dikhianati dan disangkal. Tidak ada sebab untuk menghina Petrus yang berdosa karena lemah. Kejadian ini harus merupakan peringatan untuk tidak jatuh dalam kesalahan yang sama karena keteledoran, karena keyakinan yang berlebihan akan kekuatan pribadi dan karena kurangnya pengharapan.
Duccio di Buoninsegna, 13th century: Peter Denying Christ |
Injil mengajarkan juga bahwa untuk setiap dosa selalu ada pengampunan. Tuhan berpaling memandang Petrus. Teringatlah Petrus bahwa Tuhan telah berkata kepadanya: �Sebelum ayam berkokok pada hari ini, engkau telah tiga menyangkal Aku.� Lalu ia pergi ke luar dan menangis dengan sedih. Luk 22:61-62
Peristiwa ini mungkin terjadi ketika para pengawal membawa Yesus dari ruang sidang ke ruang lain di mana Ia dihina dan didera, atau sebaliknya. Bagaimanapun juga, pandangan Kristus, pandangan mata yang tidak terlupakan itu, bertemu sebentar dengan pandangan Petrus, yang berdiri di dekat situ. Wajah-Nya penuh dengan babak belur. Pandangan Yesus menyatakan cintakasih tetapi juga teguran. Petrus menyadarkan diri lagi. Hatinya remuk redam. Cintanya kepada Yesus mencurahkan air mata penyesalan. Hubungan yang telah putus diperbaiki lagi dan sekali waktu juga Petrus akan mengikuti Yesus di jalan salib-Nya.
Nasib Yudas sangat menyedihkan. Kata-kata Yesus yang disampaikan kepadanya, tidak menghasilkan sesuatu di dalam jiwanya; semua perkataan itu kembali tidak berbekas dalam jiwa Yudas karena terbentur pada sikap Yudas yang keras. Kelegaan terhadap keberhasilan pengkhianatannya berlangsung tidak lama. Demikian juga kegembiraan atas uang yang diterimanya. Sekarang ia melihat sendiri akibat perbuatannya: Yesus dihukum mati karena dia. Ia menyesal dan mengembalikan uang tiga puluh perak itu kepada imam-imam kepala dan kaum tua-tua, dan berkata: �Aku telah berdosa karena menyerahkan orang yang tidak bersalah.� Tetapi mereka menjawab: �Apa urusan kami dengan itu? Itu urusanmu sendiri.� Lalu ia melemparkan uang itu ke dalam Bait Suci, lalu pergi dari situ dan menggantungkan diri. Mat 27:3-5
Ia menyesal tetapi penyesalannya tidak membawa hasil. Ia tidak mau lagi memegang kepingan uang; daya tariknya sudah hilang. Pada imam-imam besar ia tidak mendapat bantuan. Jalan ke Tuhan tidak diketemukannya lagi. Ia telah putuskan hubungan dengan Yesus dan menduga bahwa suatu perbaikan sudah tidak mungkin lagi. Ia hanya melihat satu jalan ke luar, ialah mengakhiri kehidupannya. Ia telah mengkhianati darah yang tidak bersalah dan ia tidak mengerti bahwa untuk kesalahannya itu pun masih ada kemungkinan pengampunan. Sukar bagi kita untuk mendalami misteri kejahatan ini. kita tidak boleh memisah-misahkan ketidakpercayaan Yudas dan pengkhianatannya. Pengkhianatan adalah konsekuensi dari ketidakpercayaan.
Pater H. Embuiru SVD dalam karyanya �Aku Percaya� hlm. 89-90
Tambahan dari Indonesian Papist:
Kisah Yudas dan Petrus adalah gambaran dari dua orang pendosa yang memilih dua pilihan yang berbeda. Petrus dan Yudas sama-sama menyesal akan perbuatan dosanya namun demikian keduanya berbeda dalam kepercayaan akan kerahiman Yesus Kristus. Petrus percaya akan kerahiman Kristus dan ia, sembari menyesal, menyadari bahwa hubungan dengan Allah masih bisa diperbaiki. Ia sadar dan percaya bahwa setiap dosa bisa diampuni. Saya yakin Petrus masih ingat akan ajaran Yesus Kristus bahwa hanya dosa menghujat Roh Kudus (yaitu menolak untuk bertobat) yang tidak diampuni. Yesus berkata: Sesungguhnya semua dosa dan hujat anak-anak manusia akan diampuni, ya, semua hujat yang mereka ucapkan. Tetapi apabila seorang menghujat Roh Kudus, ia tidak mendapat ampun selama-lamanya, melainkan bersalah karena berbuat dosa kekal. (Mrk 3:27-28). Apa yang dialami Petrus di hari-harinya kemudian menunjukkan bahwa ia sungguh bertobat, mengambil jalan salib Kristus hingga menjadi martir di Roma pada tahun 67 setelah menjadi uskup selama 27 tahun di sana.
Berbeda dengan Petrus, Yudas meragukan kerahiman Allah. Ia merasa hubungan yang terputus antara ia dengan Allah sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Keputusannya untuk mengakhiri hidup menunjukkan penyesalannya yang tidak sempurna.
Dalam konteks pertobatan, menjadi Petrus atau Yudas adalah dua pilihan yang harus kita pilih sebagai seorang Katolik. Tentu, dalam kelemahan kita sebagai manusia, kita dapat jatuh kembali ke dalam dosa. Tetapi mereka yang percaya pada kerahiman Allah, tentu juga percaya bahwa Allah akan mengampuninya. Meragukan kerahiman Allah adalah sesuatu yang menyakiti hati Allah.
Namun, pertanyaan selanjutnya, Apakah percaya bahwa Allah maharahim adalah cukup untuk memperbaiki hubungan yang putus antara Allah dan manusia sebagai akibat dosa manusia? Ajaran Katolik selalu menolak doktrin �hanya iman� (sola fide). Iman tanpa perbuatan adalah mati. Tentang hal ini, akan saya kaitkan dengan Sakramen Tobat.
Setelah kebangkitan-Nya, Kristus menganugerahi kuasa mengampuni dosa kepada Para Rasul. Kata Yesus kepada murid-murid-Nya: �Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada." (Yoh 20:22-23) Melalui suksesi apostolik dan tahbisan imamat, kuasa ini diteruskan hingga sekarang kepada Para Paus, Uskup dan Imam. Pengampunan dosa oleh Allah melalui para tertahbis inilah yang kita terima dalam Sakramen Tobat atau dikenal juga dengan sebutan Sakramen Pengakuan Dosa atau Sakramen Rekonsiliasi.
Iman tanpa perbuatan adalah mati, sekalipun kita meyakini kerahiman Allah tetapi bila kita tidak datang pada-Nya dalam Sakramen Tobat, maka keyakinan kita adalah mati. Perbuatan datang kepada imam dan meminta sakramen tobat adalah perbuatan yang menghidupkan iman akan kerahiman Allah. Sakramen Tobat, di samping Sakramen Ekaristi, adalah sakramen yang menunjukkan kerahiman Allah yang begitu besar. Dalam Sakramen Tobat, kita bisa melihat bahwa Allah tidak bosan-bosannya mengampuni kita sekalipun kita sering jatuh kembali dalam dosa yang sama. Tentu hal ini tidak membuat kita bisa seenaknya berpikir �Mari kita berdosa lagi, toh Allah akan mengampuni kita dalam Sakramen Tobat.� Pemikiran seperti itu justru melecehkan Sakramen Tobat.
Bila kita meyakini Allah maharahim, mengapa enggan menemui Ia dalam Sakramen Tobat? Saat kita menolak menerima Sakramen Tobat, pada saat itu pula kita telah menolak undangan Kristus untuk bertemu dengan-Nya dan pada saat itu pula kita telah menolak menerima rahmat pengampunan dari-Nya di kamar pengakuan. Bila kita mengabaikan Sakramen Tobat, bukankah kita berarti telah mengabaikan kerahiman Allah? Jangan merasa diri tidak pantas menerima sakramen Tobat karena merasa pesimis atau karena menganggap �buat apa mengaku dosa bila nanti berdosa lagi?�. Seperti yang sudah dikatakan di atas, sikap seperti ini meragukan kerahiman Allah dan hal ini menyakiti hati Allah. Iman akan kerahiman Allah tidak akan pernah hidup tanpa perbuatan menerima Sakramen Tobat.
Pilihan ada di tangan kita. Apakah kita hendak menjadi Petrus yang berdosa lalu bertobat karena iman akan kerahiman Allah? Ataukah kita hendak menjadi Yudas yang pesimis, yang meragukan kerahiman Allah, yang menolak bertobat?
Ditulis oleh Indonesian Papist untuk menekan pentingnya Sakramen Tobat. Pax et bonum
Saturday, March 10, 2012
Tiga Sakramen Inisiasi Kristen
Orang menjadi Kristen - sudah sejak zaman para Rasul - dengan mengikuti jalan inisiasi dalam beberapa tahap. Jalan ini dapat ditempuh cepat atau perlahan. Tetapi ia harus selalu mempunyai beberapa unsur hakiki: pewartaan bSabda, penerimaan Injil yang menuntut pertobatan, pengakuan iman, Pembaptisan itu sendiri, pemberian Roh Kudus, dan penerimaan ke dalam persekutuan Ekaristi. (KGK 1229)
Dalam Gereja Katolik, kita mengenal dan mengakui 3 sakramen inisiasi yang terdiri atas Sakramen Pembaptisan, Sakramen Penguatan (Krisma) dan Sakramen Ekaristi (bdk KGK 1533). Urutan yang benar dalam penerimaan oSakramen-sakramen inisiasi adalah pertama Sakramen Pembaptisan, kemudian Sakramen Krisma (Penguatan) barulah kemudiann dilengkapi dengan Sakramen Ekaristi, puncak inisiasi Kristen.
Setiap orang yang dibaptis, yang belum menerima Penguatan, dapat dan harus menerima Sakramen Penguatan. Oleh karena Pembaptisan, Penguatan, dan Ekaristi membentuk satu kesatuan, maka "umat beriman... diwajibkan menerima Sakramen ituu tepat pada waktunya" karena tanpa Penguatan dan Ekaristi, Sakramen Pembaptisan itu memang sah dan berhasil guna, namun inisiasi Kristen masih belum lengkap. (KGK 1306)
Bersama dengan Pembaptisan dan Ekaristi, Sakramen Penguatan membentuk "Sakramen-sakramen Inisiasi Kristen", yang kesatuannya harus dipertahankan. Jadi, perlu dijelaskan kepada umat beriman bahwa penerimaan Penguatan itu perlu untuk melengkapi rahmat Pembaptisan. (KGK 1285)
Sedangkan Sakramen Ekaristi menjadi sakramen yang mmenyempurnakan inisiasi Kristen. (bdk. KGK 1322)
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Sakramen Penguatan melengkapi Sakramen Pembaptisan dan Sakramen Ekaristi menyempurnakan Inisiasi Kristen. KGK 1275 memberikan analogi yang bagus mengenai tiga sakramen inisiasi ini: �Inisiasi Kristen terlaksana dalam tiga Sakramen: Pembaptisan, yang adalah awal kehidupan baru; Penguatan, yang menguatkan kehidupan ini; Ekaristi, yang mengenyangkan umat beriman dengan tubuh dan darah Kristus, untuk mengubahnya ke dalam Kristus.�
Salah satu kebiasaan yang kurang tepat yang terjadi di Indonesia adalah inisiasi Kristen justru berlangsung dalam urutan yang keliru. Kita terbiasa melihat seorang Katolik menerima inisiasi Kristen-nya dalam urutan Pembaptisan-Ekaristi-Krisma. Meskipun rahmat sakramen-sakramen tersebut tetap kita terima secara utuh sekalipun diberikan dalam urutan yang keliru, tetapi kebiasaan yang keliru ini dapat mengaburkan makna sakramen-sakramen inisiasi tersebut. Hal ini memang telah berlangsung dalam waktu lama dan tampaknya sulit untuk mengubah kebiasaan urutan yang keliru ini. Kebiasaan ini timbul karena adanya �kesalahan teologis� yang memandang Sakramen Krisma sebagai sakramen yang menunjukkan kedewasaan seorang Katolik. Tetapi, seorang uskup dapat berperan untuk mengubah kebiasaan ini dengan menginstruksikan penerimaan sakramen-sakramen inisiasi dalam urutan yang benar di wilayah keuskupannya.
Baru-baru ini di Uskup Samuel Aquila dari Keuskupan Fargo di AmerikaSerikat menerima pujian dari Paus Benediktus XVI karena mengembalikan penerimaan sakramen-sakramen inisiasi di wilayah keuskupannya seturut urutan misteri sakramental yang benar. Ketimbang memposisikan Sakramen Krisma dalam urutan ketiga dan diberikan pada usia dewasa, Uskup Aquila memilih menginstruksikan agar anak-anak yang telah menerima Sakramen pembaptisan diberikan Sakramen Penguatan terlebih dahulu ketimbang Sakramen Ekaristi.
Uskup Aquila melakukan usaha ini karena hendak menegaskan Sakramen Ekaristi sebagai sakramen yang melengkapi inisiasi Kristen dan Sakramen Krisma sebagai sakramen yang melengkapi sakramen pembaptisan. Menurut Beliau, penerimaan sakramen-sakramen inisiasi dalam urutan yang tepat akan memperjelas bahwa Pembaptisan dan Penguatan membawa umat beriman kepada Ekaristi.
Sebuah pertanyaan menarik dapat kita ajukan, apakah hierarki Gereja Katolik di Indonesia mau dan bersedia mengubah kebiasaan penerimaan sakramen-sakramen inisiasi yang keliru selama ini dan mengembalikannya seturut urutan misteri sakramental yang diajarkan Gereja Universal?
Artikel ini ditulis oleh Indonesian Papist untuk mendukung usaha restorasi pemberian sakramen-sakramen inisiasi dalam urutan yang benar. Pax et Bonum