ADA APA DENGAN LITURGI HKBP ?
A. Latar Belakang dan Konteks Permasalahan
Bertitik-tolak dari sejarah perkembangan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), masalah liturgi tidak pernah luput dari perhatian para zendeling Rheinische Missions Gesellschaft (RMG) yang melayani di Gereja Batak. Para zendeling berusaha menyusun tata cara peribadahan untuk membangun jemaat yang teratur dan berusaha memisahkan unsur-unsur kekafiran dari pelaksanaan liturgi. Di dalam Tata Jemaat itu dicantumkan aturan mengenai kebaktian Minggu dan ibadah harian. Seiring dengan adanya Tata Jemaat ini diangkatlah beberapa orang sintua, diakon, diakones dan guru anak-anak untuk membantu terselenggaranya aturan-aturan tersebut. Dalam liturgi ketika itu sudah ada pembacaan Hukum Taurat yang dibacakan sebelum pengakuan dosa dan pengampunan dosa.1)
Dalam perkembangan selanjutnya lahirlah Tata Gereja 1906/1907 yang memuat pelaksanaan kebaktian Minggu, kedua sakramen, perkawinan, penguburan, katekisasi sidi dan pendidikan umum.2) Sebelumnya, tahun 1903, Agenda sudah disusun, namun pelaksanaannya tidak seragam di semua Gereja. Di dalam buku Agenda 19043) ditetapkan dua liturgi untuk kebaktian Gereja: pertama khusus untuk Pendeta yaitu pembacaan votum dan introitus, berita pengampunan dosa dan berkat. Kedua khusus untuk Guru Jemaat atau Penatua yaitu nyanyian, hukum Taurat, dan epistel.4) Di dalam Agenda cetakan ke-2 yang disusun kemudian oleh Johanes Warneck liturgi untuk kebaktian Gereja tidak lagi mempunyai perbedaan, hanya formulasi doa berkat yang masih berbeda. Jika Pendeta yang mengucapkan doa berkat, ia memakai rumusan: “Tuhan memberkati kamu…” dan jika Guru Jemaat atau Penatua, ia memakai rumusan: “Tuhan memberkati kita…”. Formulasi ini berlaku hingga pada masa kini. Semua hal yang menyangkut ibadah di HKBP sampai sekarang tetap merupakan hal yang sangat penting untuk digumuli melalui rapat-rapat pendeta dan sidang-sidang Sinode Agung.
B. Perumusan Masalah
Sejak kira-kira 15 tahun terakhir ini terjadi kritik besar-besaran terhadap liturgi HKBP, termasuk juga terhadap Gereja-gereja Batak lainnya. Kritikan terhadap Gereja-gereja lain, terutama yang pusatnya dari luar Sumatera Utara sudah terlebih dahulu terjadi. Inti dari kritik itu adalah bahwa Tata Kebaktian Gereja-gereja ini terlalu monoton dan membosankan.5) Kritik ini terjadi serentak dengan kenyataan bahwa adanya sebagian warga jemaat mulai meninggalkan jemaat semula dan masuk pada kebaktian-kebaktian Karismatik6) yang dianggap lebih hidup dan menarik. Kenyataan ini masih terus terjadi hingga masa kini, yaitu pergi beribadah ke Gereja-gereja Karismatik sekalipun keanggotaannya tetap di Gereja HKBP.
Sinode Godang HKBP (Sidang Sinode Agung HKBP) tahun 19987) di Pematang Siantar telah merekomendasikan komisi liturgi HKBP untuk terbuka menjawab tuntutan jemaat mengenai pembaruan liturgi. Salah satu keputusan yang ditetapkan pada waktu itu adalah dimungkinkannya Gereja-gereja lokal untuk membuat liturgi alternatif dan kontemporer sesuai dengan kebutuhan jemaat setempat tanpa menghilangkan makna dari unsur-unsur liturgi yang ada dalam buku Agenda.
Keputusan ini juga didukung oleh Aturan & Peraturan HKBP 2002 Bab V pasal 23 tentang Komisi Liturgi dan Ibadah8) yang diberi mandat atau tugas: Meneliti liturgi dan ibadah yang ada di HKBP, meneliti liturgi dan ibadah yang disukai oleh warga Gereja sesuai dengan perkembangan zaman, menyusun liturgi dan ibadah yang sesuai dengan kegiatan atau kejadian-kejadian yang belum diatur dalam Agenda HKBP. Sekalipun keputusan ini sudah lahir, namun pelaksanaannya masih mengambang dan selalu memunculkan sikap kontroversial. Sikap ini terjadi karena tidak ada formula terapan sebagai bahan acuan.
Salah seorang Pendeta HKBP yang memberi perhatian dan peduli mendengar kritikan warga jemaat tentang pelaksanaan liturgi HKBP, membuat solusi baru untuk meningkatkan mutu ibadah Gereja dengan diterbitkannya buku “Liturgi Alternatif” (menghindarkan kebosanan beribadah) terbitan Atalya Rileni Sudeco Jakarta tahun 2002. Di dalam buku ini dibahas tentang perlunya liturgi alternatif di HKBP dan model-model liturgi alternatif. Demikian juga Pensil Wally dalam bukunya “Ende & Parsombaon tu Debata” (Nyanyian dan Ibadah kepada Tuhan) Tarutung: 1985, menyoroti pemahaman unsur-unsur liturgi HKBP, musik dan nyanyian di dalam liturgi. Dalam nyanyian liturgi HKBP dia mengkritik pemilihan nyanyian yang tidak disesuaikan dengan pemahaman unsur-unsur liturgi itu sendiri. Perbedaan pemahaman unsur-unsur liturgi ini lebih jauh diungkapkan oleh JL.Ch. Abineno dalam bukunya Unsur-Unsur Liturgi dengan tegas menyatakan bahwa kebanyakan liturgi Gereja-gereja di Indonesia masih memakai kebiasaan yang diambil alih dari Barat (Nederland, Jerman). Pembahasan tentang unsur-unsur liturgi selalu dibandingkan dengan pemahaman beberapa ahli praktika seperti Kuyper, Oberman, Van der Leeuw, Noordmans dll. Abineno dalam membahas unsur-unsur liturgi selalu membandingkan unsur-unsur liturgi Calvinis dan Lutheran.
Pembaruan liturgi di HKBP tetap disuarakan lewat diskusi, pembinaan dan ceramah-ceramah. Pendeta Bonar H. Lumbantobing9) di dalam diskusi Latihan Praktik Pelayanan III (LPP III) menjelaskan istilah yang muncul dalam rangka upaya pembaruan liturgi HKBP:
Pertama: Liturgi Kontekstual
Corak liturgi seperti ini berkembang di Indonesia sejak tahun 1980-an, terutama melalui gerakan Oikumenis, baik di tingkat internasional maupun di tingkat regional (World Council of Churches (WCC), Christian Conference of Asia (CCA), Lutheran World Federation (LWF), dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)). Ke dalam liturgi itu dimasukkan tema-tema dari kehidupan sehari-hari, misalnya masalah-masalah yang dihadapi manusia seperti kemiskinan, ketidak-adilan, kerusakan lingkungan hidup, masalah kedudukan perempuan, hak-hak azasi manusia, hak-hak azasi anak dan lain-lain. Masalah-masalah tersebut direnungkan dalam liturgi itu.
Kedua: Liturgi Alternatif
Mulai tahun 1990-an muncul keterbukaan di kalangan HKBP dan beberapa Gereja tetangga terhadap tata cara pelaksanaan kebaktian seperti yang ditemukan di kalangan Karismatik. Gereja-gereja resmi menanggapi kebosanan akan liturgi dengan menciptakan liturgi lain, yang sering disebut dengan Liturgi Alternatif. Caranya bermacam-macam: Ada jemaat yang terus mempertahankan urutan liturgi yang dimiliki oleh HKBP, dan memasukkan nyanyian-nyanyian dengan ciri yang disebutkan di atas. Ada yang mengurangi sebagian dari unsur liturgi yang biasa, dan ada yang menyusun semuanya sama sekali baru.
Ketiga: Liturgi Inkulturasi
Liturgi ini muncul tahun 2000, khususnya di daerah Pulau Samosir dan dalam pertemuan-pertemuan gerejawi yang besar. Unsur-unsur budaya Batak dimasukkan termasuk gendang dan tarian dan digabung dengan unsur-unsur liturgi yang sudah ada. Sebagian mengubah susunan liturgi yang sudah ada dan kemudian memasukkan jenis yang baru, lalu menampilkan unsur-unsur budaya yang sudah ada.
Sesuai dengan penjelasan-penjelasan di atas, menyangkut ide-ide dasar pembaruan liturgi HKBP perlu dikaji dari sudut teologi supaya tidak direduksi hanya pada tingkat keinginan atau selera, tetapi juga pada kebutuhan. Karya-karya tulis yang pernah membahas liturgi HKBP dalam upaya pembaruan masih di sekitar reaksi spontan terhadap kritikan jemaat. Sekalipun unsur-unsur liturgi yang ada di dalam buku Agenda (buku liturgi HKBP) telah dibahas, namun upaya pembaruan isi unsur-unsur liturgi itu sendiri belum sepenuhnya dikembangkan. Penelitian tentang perkembangan liturgi HKBP dan pembahasan unsur-unsur liturgi masih lebih banyak ditinjau dari prespektif pengalaman.
Dalam Proyek Akhir/ Disertasi ini penulis lebih memfokuskan pembahasan pada Upaya Kontekstualisasi Liturgi dengan menggunakan tiga pola, yaitu: Attending,Assertion, dan Pastoral Response, yang dikaitkan dengan tradisi, pengalaman dan budaya. Sejarah perkembangan liturgi HKBP, pembahasan unsur-unsur liturgi HKBP secara teologis, serta upaya kontekstualisasi akan menjadi fokus dalam penulisan Proyek Akhir/ Disertasi ini.
C. Pembatasan Masalah
Bertitik-tolak dari pengertian liturgi,10) yang mencakup seluruh aktivitas yang dilakukan manusia, mencakup seluruh lini kehidupan dalam menunjukkan bakti, pelayanannya kepada Tuhan, dan pelayanan terhadap sesama,11) maka dalam Proyek Akhir/ Disertasi ini penulis membatasinya di sekitar tata ibadah Minggu yang dilaksanakan di HKBP Perumnas II Bekasi sebagai tempat pelayanan sekarang. Tata ibadah yang akan diteliti di sini adalah tata ibadah Minggu pukul 18.00 yang mayoritas pengunjungnya adalah pemuda (naposobulung). Sebagaimana di dalam sejarah perkembangan tata-ibadah HKBP, bahwa tata ibadah itu mengalami pembaruan sesuai dengan zamannya, maka upaya kontekstualisasi liturgi menjadi fokus penelitian Proyek Akhir/ Disertasi ini.
Keterbukaan HKBP untuk menggumuli kembali tata ibadah dan memberi wewenang kepada jemaat lokal untuk membuat tata ibadah yang sesuai dengan pergumulan jemaat merupakan langkah maju dalam berteologi secara kontekstual. Keterbukaan ini disambut baik oleh jemaat dan perlu pengembangan aplikatif secara kritis demi peningkatan mutu pelayanan yang berorientasi kepada visi dan misi HKBP.12) Unsur-unsur tata ibadah yang sering dinilai kaku, monoton dan membosankan menjadi pembahasan dan analisis di dalam Proyek Akhir/ Disertasi ini.
D. Hipotesis
Kritik warga jemaat terhadap pelaksanaan liturgi HKBP dengan kenyataan adanya beberapa warga jemaat berpaling ke Gereja Karismatik di satu sisi memberikan kontribusi positif, yaitu membangunkan HKBP dari sikap eksklusif dan kemapanan. Berpalingnya sebagian warga jemaat ke Gereja-gereja aliran Karismatik memberikan cukup bukti bahwa ada kebutuhan warga jemaat yang tidak terpenuhi oleh bentuk dan unsur-unsur liturgi HKBP. Dengan demikian penelitian terhadap liturgi dan upaya kontekstualisasi liturgi menjadi jawaban. Artinya liturgi harus dilihat dan dirayakan sesuai dengan ”teks” dan ”konteks” di setiap zaman. Liturgi yang jauh dari ”teks” dan ”konteks” akan menciptakan keterasingan bagi orang yang mengikutinya. Liturgi adalah kegiatan peribadahan di mana seluruh anggota jemaat terlibat secara aktif dalam pekerjaan bersama untuk menyembah dan memuliakan nama Tuhan. Melalui pengertian ini setiap liturgi harus bersifat liturgis; artinya melibatkan setiap orang yang hadir di dalam perayaan liturgi.
E. Alasan Memilih Judul dan Manfaat Penulisan
Bertitik tolak dari prinsip dasar Gereja yaitu “ecclesia reformata sed semper reformanda”, maka Gereja dalam pelayanannya tidak mungkin berjalan statis, terlebih memuaskan diri dengan apa yang dimiliki saat ini. Keterbukaan untuk mengubah diri ke arah yang lebih baru adalah prinsip Gereja untuk mempertahankan eksistensinya di dunia ini.
Sebagaimana kesaksian Alkitab, bahwa Allah berfirman dan menyatakan kehendaknya terus-menerus pada setiap zaman (bnd Yoh. 5:17), Allah selalu bekerja secara historis dan kontekstual, maka liturgi juga harus berupaya menjawab dan menyapa setiap umat secara konkret dan kontekstual.13) Inilah alasan pertama pemilihan judul Proyek Akhir/ Disertasi ini ”Liturgi HKBP: Upaya Kontekstualisasi Liturgi di HKBP Perumnas II Bekasi”. Secara Alkitabiah kontekstualisasi liturgi ini bertitik-tolak dari peristiwa inkarnasi (penjelmaan) Kristus dan peristiwa Paskah (kebangkitan) Kristus. Kristus telah menjelma menjadi manusia dan Ia menyesuaikan diri dengan manusia demi keselamatan manusia itu (bnd Flp. 2:6-8). Ia adalah firman Allah (bnd Yoh. 1: 1,14) yang menjadi seorang manusia Yahudi, mengikat diri dengan sejarah, kebudayaan, tradisi dan agama bangsa Yahudi. Di dalam peristiwa Paskah, Kristus yang bangkit itu memberi kesempatan kepada manusia untuk bangkit dan dimuliakan bersama Dia.14)
Dengan demikian kontektualisasi liturgi adalah keharusan yang dilakukan di dalam pelayanan Gereja. Kontekstualisasi liturgi dimulai dari dan di dalam Kristus, menjelma di dalam realitas kehidupan manusia dan berakhir di dalam Kristus. Melalui kontekstualisasi liturgi ini realitas kehidupan manusia disapa, diteguhkan dan dibangkitkan di dalam setiap perayaan liturgi. Liturgi menjadi bagian dari kehidupan dan kehidupan menjadi bagian dari liturgi.
1) J.R. Hutauruk, Menata Rumah Allah: Kumpulan Tata Gereja HKBP (Pematang Siantar: STT-HKBP, 1994), 7- 8. Unsur ibadah, seperti: pembacaan Dasa Titah, pengakuan dosa dan pengampunan dosa tetap mewarnai kebaktian HKBP sampai sekarang sesuai dengan teologi Martin Luther.
2) Ibid., 10.
3) Agenda Gereja Batak yang berasal dari tahun 1904 pada dasarnya merupakan penggabungan dari ke-dua jilid buku liturgi Prusia tahun 1895 yang disusun oleh 23 orang ahli teologi Gereja Lutheran dan Reformiert (Calvinis). A. Lumbantobing,Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1992), 234.
4) Ibid., 240. Aturan itu dilaksanakan karena dipahami bahwa yang berhak untuk mengucapkan votum dan introitus, berita pengampunan dosa dan berkat adalah seseorang yang memiliki kuasa khusus dan itu hanya ada pada orang yang sudah ditahbiskan menjadi pendeta..
5) Bonar H. Lumbantobing, ”Sekitar Liturgi Alternatif” (ceramah: Disampaikan pada LPP III, 21 Januari 2002 di Seminarium Theologia HKBP Sipoholon). Bonar H. Lumbantobing adalah dosen di STT-HKBP Pematang Siantar dan salah satu anggota Komisi Liturgi HKBP.
6) Ciri utama gerakan Karismatik berpangkal dan mirip dengan gerakan Pentakostal, keduanya memberi tekanan pada “Baptisan Roh” dan “Penyembuhan Ilahi”. Pokok-pokok Penting ajarannya ialah pujian, penginjilan, karunia-karunia Roh dan Kuasa Rohani. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 217-219. Lebih khusus Wilfred J. Samuel merumuskan ibadah aliran Gereja Karismatik ke dalam enam pengelompokan besar, yaitu: Pertama: Praktik ibadah yang dihubungkan dengan gerakan tubuh (mengangkat tangan, doa lantang, bertepuk tangan, menari, melompat-lompat di tempat, bernyanyi terus-menerus pada awal ibadah. Kedua: Praktik ibadah yang dihubungkan dengan kewajiban selebratif (mengulang-ulang lagu, bernyanyi dengan keras, bersalam-salaman, permainan musik seperti band, paduan suara wanita sebagai penyanyi latar, tarian tamborin, berbicara dalam bahasa lidah, musik yang keras). Ketiga: Praktik ibadah yang dihubungkan dengan bentuk dan dekorasi interior yang artistik (memisahkan bagian depan tempat ibadah untuk dipakai oleh band musik, penggunaan spanduk, karangan bunga, sebuah altar kecil atau kadang-kadang tanpa altar). Keempat: Praktik ibadah yang dihubungkan dengan struktur ibadah (bersalam-salaman, panggilan merayakan ibadah, puji-pujian dan penyembahan, persembahan syukur, pembacaan firman, sakramen, doa umum dan doa kkhusus untuk individu-individu). Kelima: Praktik ibadah yang dihubungkan dengan pelayanan gerejawi (penumpangan tangan, doa syafaat yang keras, memproklamasikan kelepasan, menengking si jahat, kesaksian, pengurapan dengan minyak). Keenam: Praktik ibadah yang dihubungkan dengan ekspresi linguistik dan pemilihan kata-kata yang popular (haleluya, puji Tuhan, amin, marilah kita memberikan tepuk tangan, dll). Wilfred J. Samuel, Kristen Karismatik, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2006), 108-109.
7) Notulen Sinode Godang HKBP (Pematang Siantar, 1998)
8) Aturan Dohot Paraturan HKBP 2002, 150.
9) Bonar H. Lumbantobing, Op.cit., 1.
10) Kata “liturgi” berasal dari bahasa Yunani leitourgia, terbentuk dari akar kataergon yang berarti karya, dan leitos, yang merupakan kata sifat untuk kata benda laos yang berarti bangsa. Kata laos dan ergon diambil dari kehidupan masyarakat Yunani kuno sebagai kerja nyata rakyat kepada bangsa atau negara. Secara praktis hal ini berupa membayar pajak, membela Negara dari ancaman musuh atau wajib militer. Namun leitourgia juga digunakan untuk menunjuk pelayan rumah tangga dan pegawai pemerintah semisal menarik pajak. James F. White, Introduction to Christian Worship (Revised Edition), 22-23. Secara harfiah,leitourgia berarti kerja atau pelayanan yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa. Menurut asal-usulnya, istilah leitourgia memiliki arti profan-politis, dan bukan arti kultis sebagaimana biasa dipahami. Baru sejak abad keempat sebelum Masehi. pemakaian kata leitourgia diperluas yakni untuk menyebut berbagai macam karya pelayanan. E. Martasudjita, Pr. Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 18. Baru sejak abad kedua sebelum masehi para penerjemah Alkitab dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta) memilih kata Yunani leitourgia untuk menerjemahkan kata Ibrani abodah yang berarti pelayanan khususnya pelayanan para Imam dan orang-orang Lewi di hadapan Tuhan. H.A.Van Dop, Liturgi dan Komunikasi : Hakekat dan Makna Liturgi, ( Jakarta: Yakoma PGI, 2005), 104.
11) Rasid Rachman, Pembaruan Ibadah:”Pengantar Teologi Liturgi” (Bahan Perkuliahan Intensif Mahasiswa D.Min, STT Jakarta, 19-20 Oktober 2005), 5-6.
12) Sebagaimana visi dan misi Gereja HKBP yang tertuang dalam buku Aturan dan Peraturan HKBP 2002, yang berbunyi, Visi: “HKBP berkembang menjadi Gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka, serta mampu dan bertenaga mengembangkan kehidupan yang bermutu di dalam kasih Tuhan Yesus Kristus, bersama-sama dengan semua orang di dalam masyarakat global, terutama masyarakat Kristen, demi kemuliaan Allah Bapa yang mahakuasa.” Misi: “HKBP berusaha meningkatkan mutu segenap warga masyarakat, terutama warga HKBP, melalui pelayanan-pelayanan Gereja yang bermutu agar mampu melaksanakan amanat Tuhan Yesus dalam segenap perilaku kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, maupun kehidupan bersama segenap masyarakat manusia di tingkat lokal dan nasional, di tingkat regional dan global dalam menghadapi tantangan abad-21.”
13) Sebagaimana yang dikatakan oleh Irene Umbu Lolo, Kontekstualisasi liturgi adalah upaya dan proses menyesuaikan (menerjemahkan, menyalurkan, mengomunikasikan, mewujudkan, menghayati) unsur-unsur dan aspek-aspek liturgi di dalam konteks tertentu. Kontekstualisasi di bidang liturgi memungkinkan liturgi diwujudkan, dilakoni, dihayati dalam konteks yang kongkrit. Bernardus Boli Ujan & Georg Kirchberger (ed.), Liturgi Autentik dan Relevan (Maumere: Ledalero 2006), 35. Kontekstualisasi dipahami sebagai kemampuan untuk menanggapi Injil sesungguhnya di dalam kerangka situasi seseorang. Kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah “pempribumian” namun lebih dalam dari itu kontekstualisasi berkaitan dengan penilaian terhadap konteks-konteks dalam dunia ketiga. Istilah “pempribumian” cenderung dipergunakan dalam pengertian menanamkan Injil ke dalam suatu budaya tradisional, sedangkan istilah “kontekstualisasi”, dengan tidak mengabaikan konteks-konteks budaya, memperhitungkan juga proses sekularisasi, teknologi dan perjuangan manusia demi keadilan. David J. Hesselgrave, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 51.
14) Bernardus Boli Ujan & Georg Kirchberger (ed.), Op.cit., 36-38.
Source : haumanarata.wordpress.com