DAMASKUS (SURIAH) � Atas dukungan Amerika Serikat, umat Kristen di Suriah menjadi sasaran empuk penyerangan dan pembantaian massal oleh kelompok Muslim yang memberontak kepada pemerintah Bashar al Assad.
Diberitakan Fides, kantor berita Vatikan, Centre for the Study of Interventionism (CSI), badan internasional yang memantau perdamaian di negara konflik seperti yang terjadi di Suriah menyatakan, umat Kristen di negara itu, bersama kaum Muslim minoritas seperti Shia, Alawi dan Kurdi telah dibantai oleh muslim Sunni yang berusaha mendirikan negara berdasar Islam, sama seperti yang terjadi di Tunisia, Libya dan Mesir.
Mereka juga menyatakan, Amerika Serikat melalui kebijakan Presiden Barack Obama, telah terlibat dengan mendukung kelompok pemberontak, Free Syrian Army (FSA), kelompok yang telah membakar dan merusak ribuan gereja di Homs, Damaskus dan Aleppo, Menembak mati umat Kristen yang berada di jalan dan mengumumkan ultimatum melalui toa masjid; umat Kristen harus 'dibersihkan' dari desa-desa basis pemberontak.
Uskup Philip Tournyol Clos, pemimpin dari Keuskupan Gereja Katolik Melkite di Perancis yang baru-baru ini mengunjungi umat Kristen di Suriah menyatakan media massa internasional di negara-negara Barat telah memutar-balikkan fakta sebenarnya yang terjadi, sebab korban yang lebih banyak berjatuhan berasal dari kelompok minoritas yang telah diambil wilayah mereka.
Seperti yang terjadi di Homs,"kelompok oposisi menguasai dua wilayah, Diwan Al Bustan dan Hamidieh yang merupakan daerah umat Kristen dengan ratusan gedung gereja yang ada. Gambaran yang terjadi disana sangat menyayat hati: Gereja Mar Elian telah dihancurkan separuh dan Gedung Gereja Melkite Bunda Perdamaian dijadikan markas pemberontak."
Dikatakan pula, ribuan rumah umat Kristen yang kosong telah rusak dijadikan tameng saat berperang dengan pemerintah. Sedangkan pemiliknya telah melarikan diri akibat diancam akan dibantai oleh pemberontak.
Sedangkan mereka (para pemberontak) mengusir umat Kristen di Hamidieh dan merubahnya sebagai pusat komando mereka. Hingga saat ini mereka masih melakukan perlawanan kepada pemerintah atas bantuan dana dari Qatar dan Arab Saudi.
Dengan total pengungsi 138,000 orang, banyak dari umat yang melarikan diri ke Damaskus ataupun ke negara tetangga mereka, Lebanon, sedang lainnya menuju daerah-daerah Kristen yang aman.
Disisi lain sebuah bocoran yang diberitakan media massa Jerman, Frankfurter Allgemeine Zeitung, menyatakan 'pembantaian di Houla' pada 25 Mei 2012 yang memakan korban 108 jiwa dengan 34 wanita dan 49 anak-anak ini dilakukan oleh para pemberontak dengan menggunakan topeng Shabiha guna mencari dukungan dari negara-negara luar yang mempunyai kepentingan tertentu paska kejatuhan pemerintahan Al Assad.
"... Central Intelligence Agency dan Departemen Dalam Negeri AS bekerja sama dengan Arab Saudi, Turki, Qatar dan sekutu lainnya membantu kelompok oposisi Free Syrian Army dengan menambahkan rute-rute logistikal untuk membawa suplay ke pemberontak Suriah serta menyediakan pelatihan komunikasi."
"Pemerintahan AS diketahui telah membagi data intelejen dengan Free Syrian Army atau FSA, guna mempersilahkan para pemberontak menyerang pasukan pro-Assad."
Selain itu data itu menyebutkan bahwa Amerika Serikat dan sekutunya di NATO telah bertanggung jawab dalam perubahan rezim di Timur Tengah, dan umat Kristen adalah target pertama dari korban perubahan tersebut. "Dan juga umat Kristen di AS telah menelan propaganda dari kudeta dan invasi yang 'mempromosikan demokrasi' yang setidaknya menjadi bagian dari langkah kemenangan dan positif yang terjadi dalam sejarah."
Dokumen tersebut juga mengatakan umat Kristen di Eropa dan Amerika harus waspada dengan propaganda dan penyesatan media massa atas apa yang terjadi sebenarnya.
"Mereka harus melihat dengan lebih dekat, di luar propaganda media massa utama, dan memberitahu diri mereka dengan lebih baik. Sebaliknya, tumpahan darah dari korban pembantaian pada akhirnya akan menjadi bagian dari tangan mereka -- sebuah noda yang akan menjadi tanda dari jiwa mereka."