Latest News

Thursday, June 14, 2012

Gereja Kenapa Disegel di Aceh ?



Banda Aceh - Sebanyak 20 gereja di Aceh, khususnya di Kabupaten Singkil, telah disegel dan terancam dibongkar oleh pemerintah daerah setempat. Gereja-gereja itu dianggap tidak memenuhi syarat pembangunan tempat ibadah yang ditetapkan pemerintah daerah.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Eva K Sundari mengatakan, ia dan politisi PDI-P lain yakni Adang Ruchiatna dan Moh Sayed, serta Suroso dari Fraksi Partai Gerindra menerima pengaduan penutupan 20 gereja di Aceh dari Aliansi Sumut Bersatu, Senin kemarin.

Sumber masalah dari penutupan tempat ibadah itu, kata Eva, yakni Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. Dalam Peraturan itu, lanjut dia, syarat pendirian tempat ibadah lebih berat dibanding Surat Keputusan Bersama dua menteri yang mengatur hal sama.

�Kalau SKB mensyaratkan 60 anggota jemaah Gereja untuk mengajukan permohonan IMB (izin mendirikan bangunan), maka peraturan gubernur itu meminta 150 jemaah,� kata Eva di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (12/6/2012).

Eva menambahkan, lebih menyedihkan adanya fatwa lokal yang mengharamkan bagi umat muslim untuk memberi tandatangan persetujuan pembangunan tempat ibadah selain masjid. Artinya, kata dia, upaya meminta tandatangan persetujuan dari masyarakat sekitar tidak mungkin tercapai.

Eva menambahkan, bukan hanya tempat ibadah baru yang terancam dibongkar. Bahkan, Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi yang sudah berdiri sejak 1932 pun dipaksa untuk mengikuti kesepakatan komunitas tahun 1971 dan 2001 yang berisi hanya memperbolehkan satu gereja di Kabupaten Singkil.

�Sesuatu yang tidak relevan mengingat saat ini penganut agama Kristen sudah mencapai 1.500 keluarga. Mereka menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Singkil. Belum lagi umat Khatolik yang tidak mungkin berbagi Gereja dengan umat Protestan,� ucap Eva.

Eva mengatakan, perlu ketegasan dan bimbingan dari Pemerintah pusat agar pelaksanaan keistimewaan Aceh tetap dalam koridor NKRI. Menurut dia, kesepakatan tahun 1971 dan 2001 itu tidak sesuai dengan konstitusi sehingga tidak boleh dipaksakan.

�Bimbingan dari Menteri Dalam Negeri (Gamawan Fauzi) diperlukan agar muspida dan Kapolres dapat bertindak adil dan netral bagi semua warga negara sesuai hukum nasional dan tidak tertekan oleh ormas intoleran setempat,� tegas Eva.

Melihat kejadian tersebut, tentunya menjadi keprihatinan tersendiri bagi kita semua umat Tuhan dimana dalam Islam pun mengajarkan adanya toleransi dan kebersamaan karena kedua hal tersebut merupakan prasayarat hidup berdampingan dalam kedamaian. Secara politis, MoU Helsinki telah mengamanatkan adanya kewenangan pemerintah pusat yang tidak boleh dilanggar oleh pemerintahan Aceh yaitu salah satunya adalah kebebasan dalam menganut agama dan kepercayaan di Aceh. Bagaimana mungkin peraturan Gubernur dapat �membatalkan� peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang dalam hal ini diwakili oleh 2 orang menteri?

Selanjutnya, secara domestik peranan Wali Nanggroe/Pemangku Wali nanggroe sebagai lembaga adat dan pemersatu Aceh hendaknya lebih �bertaring� sehingga tidak hanya memikirkan hal-hal yang bersifat politis dan seremonial protokoler yang sarat dengan manipulasi dan nafsu kekuasaan, namun lebih kepada peranan nyata dalam memelihara persatuan dan perdamaian di Aceh. Persoalan penyegelan gereja ini menjadi salah satu yang memerlukan peranan aktual dari sang Wali.

No comments:

Post a Comment

Recent Post