Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam menyegel beberapa gereja 1 Mei lalu karena gereja-gereja tersebut tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri serta Peraturan Gubernur.
'Ada tiga Gereja Katolik di Paroki St. Mikael Tumbajae-Manduamas yakni Gereja Stasi Kampong Napagaluh, Stasi Laembalno dan Stasi Suka Makmur, serta beberapa Gereja Protestan yang disegel secara serempak', demikian kata Frater Frans R. Zai, OFMCap, yang merupakan salah satu utusan dari Seksi Komunikasi Sosial Keuskupan Sibolga dan turun ke lokasi Minggu (6/5).
Ia bersama Dekenus Tapanuli Pastor Servasius Sihotang OFMCap, dan Pastor Pembantu Paroki Tumbajae Pastor Sebastianus Sihombing OFMCap.
Menurutnya, umat sangat kecewa lantaran Gereja mereka tiba-tiba disegel tanpa pemberitahuan sebelumnya. 'Anehnya surat pemberitahuan penyegelan baru muncul setelah gereja disegel', kata Frater Frans.
Ia menjelaskan, gereja-gereja tersebut sudah lama berdiri. Sebagai contoh, Gereja Kampong Napagaluh yang telah berdiri sejak tahun 1974.
'Mengapa setelah 38 tahun baru ditutup oleh pemerintah. Padahal, SKB Menteri dan Peraturan Gubernur baru muncul beberapa tahun belakangan?', kata Frater Frans.
Sesuai informasi yang mereka peroleh, anggota Front Pembela Islam (FPI) dari Kecamatan Aceh Singkil dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) menjadi pelaku di lapangan dalam proses penyegelan ini.
Meski sebagian pelakunya adalah FPI, namun menurut Frater Frans, motif tindakan penyegelan ini bukan karena adanya konflik sosial atau konflik antaragama.
'Motifnya lebih sebagai imbas dari masalah Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada)', ujarnya.
Ia bercerita, salah seorang kandidat yang kemudian memenangi Pemilukada sebelum terpilih berjanji akan mengurus semua IMB Gereja yang sudah lama berdiri. Merasa diuntungkan dengan hal ini, maka hampir semua umat Katolik dan Protestan mendukungnya.
Setelah ia menang, pesaingnya, yang salah satunya adalah bupati lama merasa jengkel. �Lantas, munculah aksi penyegelan demi memicu konflik sosial. Harapan bupati tersebut, bila konflik horisontal meletus maka bisa diadakan Pemilukada ulang', jelas Frater Frans.
Ia menambahkan, pihak Keuskupan Sibolga akan mencari solusi masalah ini lewat dialog. 'Pada Kamis 10 Mei, kami akan mengundang Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB), Kementerian Agama Provinsi Aceh dan Musyawarah Pimpinan Daerah Aceh Singkil untuk berdialog. Masalah ini perlu segera diselesaikan'.
Kata Frater Frans, Minggu kemarin, umat merayakan Misa di rumah umat demi menjamin keamanan.
Theophilus Bella, Sekertaris Jenderal Religions for Peace Indonesia berpendapat, tindakan Pemerintah Aceh wajib dikritisi.
'Jangan hanya karena kalah dalam Pemilukada, yang kena imbasnya umat Kristen', katanya ketika dihubungi hari ini.
Ia menjelaskan, akan berusaha menghubungi pemerintah guna memediasi penyelesaian konflik ini.
'Pemerintah setempat tidak boleh bertindak semena-mena terhadap kelompok Katolik dan Protestan yang adalah kaum minoritas', tegasnya.
'Ada tiga Gereja Katolik di Paroki St. Mikael Tumbajae-Manduamas yakni Gereja Stasi Kampong Napagaluh, Stasi Laembalno dan Stasi Suka Makmur, serta beberapa Gereja Protestan yang disegel secara serempak', demikian kata Frater Frans R. Zai, OFMCap, yang merupakan salah satu utusan dari Seksi Komunikasi Sosial Keuskupan Sibolga dan turun ke lokasi Minggu (6/5).
Ia bersama Dekenus Tapanuli Pastor Servasius Sihotang OFMCap, dan Pastor Pembantu Paroki Tumbajae Pastor Sebastianus Sihombing OFMCap.
Menurutnya, umat sangat kecewa lantaran Gereja mereka tiba-tiba disegel tanpa pemberitahuan sebelumnya. 'Anehnya surat pemberitahuan penyegelan baru muncul setelah gereja disegel', kata Frater Frans.
Ia menjelaskan, gereja-gereja tersebut sudah lama berdiri. Sebagai contoh, Gereja Kampong Napagaluh yang telah berdiri sejak tahun 1974.
'Mengapa setelah 38 tahun baru ditutup oleh pemerintah. Padahal, SKB Menteri dan Peraturan Gubernur baru muncul beberapa tahun belakangan?', kata Frater Frans.
Sesuai informasi yang mereka peroleh, anggota Front Pembela Islam (FPI) dari Kecamatan Aceh Singkil dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) menjadi pelaku di lapangan dalam proses penyegelan ini.
Meski sebagian pelakunya adalah FPI, namun menurut Frater Frans, motif tindakan penyegelan ini bukan karena adanya konflik sosial atau konflik antaragama.
'Motifnya lebih sebagai imbas dari masalah Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada)', ujarnya.
Ia bercerita, salah seorang kandidat yang kemudian memenangi Pemilukada sebelum terpilih berjanji akan mengurus semua IMB Gereja yang sudah lama berdiri. Merasa diuntungkan dengan hal ini, maka hampir semua umat Katolik dan Protestan mendukungnya.
Setelah ia menang, pesaingnya, yang salah satunya adalah bupati lama merasa jengkel. �Lantas, munculah aksi penyegelan demi memicu konflik sosial. Harapan bupati tersebut, bila konflik horisontal meletus maka bisa diadakan Pemilukada ulang', jelas Frater Frans.
Ia menambahkan, pihak Keuskupan Sibolga akan mencari solusi masalah ini lewat dialog. 'Pada Kamis 10 Mei, kami akan mengundang Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB), Kementerian Agama Provinsi Aceh dan Musyawarah Pimpinan Daerah Aceh Singkil untuk berdialog. Masalah ini perlu segera diselesaikan'.
Kata Frater Frans, Minggu kemarin, umat merayakan Misa di rumah umat demi menjamin keamanan.
Theophilus Bella, Sekertaris Jenderal Religions for Peace Indonesia berpendapat, tindakan Pemerintah Aceh wajib dikritisi.
'Jangan hanya karena kalah dalam Pemilukada, yang kena imbasnya umat Kristen', katanya ketika dihubungi hari ini.
Ia menjelaskan, akan berusaha menghubungi pemerintah guna memediasi penyelesaian konflik ini.
'Pemerintah setempat tidak boleh bertindak semena-mena terhadap kelompok Katolik dan Protestan yang adalah kaum minoritas', tegasnya.
No comments:
Post a Comment