Latest News

Thursday, November 14, 2013

Nepotisme, Kroniisme, Dinasti

Nepotisme, Kroniisme, Dinasti thumbnail

Ignas Kleden


Nepotisme, Kroniisme, Dinasti

Dalam tinjauan moral dan hukum, korupsi dan segala variannya adalah praktik yang harus ditolak dalam politik yang sehat dan demokratis. Namun, secara sosiologis meluasnya korupsi membawa suatu akibat yang menguntungkan bagi tegaknya public good governance karena bersama dengan terungkapnya kasus korupsi-korupsi besar, tersingkap juga berbagai konspirasi politik dalam bentuk nepotisme yang pada giliran berikutnya melahirkan kroniisme.
Ada persamaan dan perbedaan di antara nepotisme dan kroniisme sebagai praktik dalam birokrasi. Dua praktik itu mempunyai kesamaan bahwa penempatan seseorang dalam birokrasi tidak didasarkan pada kompetensi teknis, tetapi pada faktor-faktor nonteknis. Bedanya, dalam nepotisme, posisi dalam birokrasi ditentukan oleh hubungan kekeluargaan dan kekerabatan, sedangkan dalam kroniisme posisi itu ditentukan oleh hubungan perkoncoan. Dinasti politik merupakan gejala nepotisme, yang dalam perkembangannya akan menciptakan kroniisme.
Dalam organisasi yang baik, nepotisme dianggap sebagai praktik yang menyimpang. Namun, mengapa menyimpang? Ada pertanyaan kritis menyangkut soal ini yang patut mendapat perhatian. Apa dasarnya bahwa kalau saya menjadi gubernur, saudara-saudara saya tidak boleh bekerja dalam kantor gubernur, sekalipun mereka terbukti sanggup? Kalau mereka sudah melewati semua tes seleksi dengan benar dan lulus tes tersebut, mengapa mereka tak boleh mendapat pekerjaan dan posisi yang mereka kehendaki? Melarang mereka bekerja dalam kantor gubernur hanya karena mereka adalah sanak dan kerabat gubernur, bukankah itu suatu diskriminasi? Selayaknya mereka diterima bekerja sampai terbukti bahwa hubungan kekeluargaannya dengan gubernur membuat mereka melakukan penyimpangan dalam tugas, atau tidak bekerja efektif sebagaimana dituntut oleh tugasnya.
Kiranya jelas bahwa argumen seperti itu didasarkan pada asas nondiskriminasi dan asas praduga tak bersalah. Kita tahu juga bahwa praduga tak bersalah adalah asas yang berlaku dalam pengadilan. Namun, birokrasi pemerintahan dan manajemen organisasi bukanlah pengadilan. Di sini yang perlu dilakukan adalah mencegah kemungkinan dan memperkecil kesempatan untuk melakukan penyimpangan. Dengan demikian, yang harus berlaku dalam organisasi dan manajemen bukanlah asas presumption of innocence atau praduga tak bersalah, tetapi asas presumption of fallibility atau praduga tentang kemungkinan jatuhnya seseorang dalam kelemahan dan kesalahan karena ketiadaan kontrol. Seorang bos di kantor sebaiknya memercayai semua stafnya. Namun tak berarti lemari besi yang berisi uang kantor boleh dibiarkan tidak terkunci karena sangat besar kemungkinan uang itu menimbulkan godaan untuk diambil.
Rupanya ini juga pertimbangannya mengapa suami-istri tidak diperbolehkan bekerja dalam kantor bank yang sama karena diandaikan bahwa hubungan yang amat dekat antara suami dan istri akan mempersulit terjaganya kerahasiaan bank, yang dapat merugikan kepentingan nasabah serta merugikan reputasi dan kredibilitas bank tersebut. Kalau salah satu dari pasangan suami-istri itu ditolak oleh bank untuk bekerja di bank itu, walaupun yang bersangkutan sudah lulus tes seleksi dengan baik, kebijakan ini bukanlah suatu tindakan diskriminatif, tetapi tindakan preventif untuk mencegah pelanggaran kerahasiaan bank, yang besar kemungkinan akan terjadi, kalau ada hubungan personal yang terlalu dekat di antara karyawan seperti antara suami dan istri. Dalam hal ini, kalau harus ditunggu dulu sampai ada bukti terjadinya pelanggaran kerahasiaan bank, maka situasinya sudah terlambat, dan baik bank maupun nasabah sudah telanjur dirugikan.
Selain itu, cukup terbukti dalam beberapa kasus di Indonesia bahwa hubungan yang terikat oleh faktor kekeluargaan cenderung menjadi tertutup dan eksklusif, terutama apabila para kerabat itu sudah terlibat dalam penyelewengan dan pelanggaran hukum. Ketertutupan itu mempersulit transparansi dan akuntabilitas. Juga menjadi penghambat bagi monitoring dan pengawasan. Akibatnya, penyelewengan dan pelanggaran hukum yang terjadi akan terus menumpuk dari waktu ke waktu, dan merugikan kepentingan publik secara akumulatif.
Memperlemah birokrasi
Contoh ini memperlihatkan bahwa asas presumption of innocence tidak selalu tepat diterapkan di luar pengadilan, seperti juga asas presumption of fallibility tidak akan dibenarkan diterapkan di pengadilan. Di sini kita bisa berkata bahwa kebijaksanaan tercapai kalau kita berpegang pada asas right principle in the right place atau asas yang benar harus diterapkan di tempat yang benar. Inilah pertimbangan utama bahwa nepotisme dianggap praktik yang merugikan birokrasi dan manajemen karena hadirnya terlalu banyak kaum kerabat dalam birokrasi akan memperlemah sifat birokrasi yang seharusnya impersonal. Kita tahu pemerintahan dan birokrasi pemerintahan adalah lembaga publik, yang harus bertanggung jawab atas kepentingan umum melalui kebijakan-kebijakan publik. Karena itu, sifat publik dari jabatan-jabatan pemerintahan perlu dijaga agar tidak dipersulit oleh hubungan-hubungan yang terlalu personal, yang menjadi ciri pemerintahan patrimonial zaman baheula.
Kroniisme juga kadang kala dibela dengan jalan pikiran yang sama. Argumennya, kalau kita memulai suatu usaha, lebih baik memulainya bersama orang-orang yang sudah kita kenal, atau dengan teman-teman yang sudah saling tahu, daripada langsung mengajak orang-orang yang baru saja dijumpai dalam wawancara untuk perekrutan staf. Orang-orang yang sudah dikenal dan teman-teman dekat lebih mudah diramalkan perilakunya, dapat diperkirakan reaksinya dalam menerima usul atau suatu rencana kerja.
Hal-hal ini lebih sulit kalau kita langsung bekerja dengan orang-orang baru karena belum ada pegangan tentang bagaimana mengantisipasi sikap mereka terhadap teguran, peringatan, atau disiplin kantor yang hendak diterapkan. Di sini kita berhadapan dengan tingkat ketidakpastian yang terlalu tinggi, yang akan menyulitkan proses pengambilan keputusan dan menghambat juga implementasi keputusan yang sudah diambil.
Sebaiknya diperjelas di sini bahwa sekelompok orang dengan semangat yang sama dan visi yang sama memang lebih mudah menjalankan suatu usaha bersama, seperti mendirikan koran atau majalah, membangun sekolah, perguruan tinggi, mengelola sebuah klub sepak bola yang profesional, atau membangun sebuah perusahaan bisnis. Dalam situasi semacam itu, orang-orang yang saling mengenal ini tidak dapat dinamakan kroni, tetapi rekan kerja yang kompak yang dipersatukan oleh suatu komitmen yang sama. Perbedaan di antara teamwork dengan kroniisme ialah bahwa yang pertama bekerja untuk kepentingan usaha bersama dengan SOP yang jelas, sedangkan yang kedua bekerja untuk kepentingan dan keuntungan sekelompok orang dalam usaha bersama itu, berdasarkan favoritisme pemimpin kelompok. Kroniisme baru terjadi kalau segelintir orang dari mereka yang telah memulai usaha bersama mendapat dan menikmati keuntungan khusus yang tidak dibagikan kepada rekan-rekan lainnya. Dengan demikian, kroniisme selalu berdiri di atas suatu in-group yang menutup diri dari mereka yang tidak termasuk dalam kelompoknya, dan tidak memperjuangkan kepentingan bersama, tetapi membela suatu egoisme kelompok secara eksklusif.
Dalam politik, kroniisme seperti ini tidak saja menguasai sumber daya ekonomi, tetapi juga sumber daya politik yang berhubungan dengan akses kepada sumber daya ekonomi, dan cenderung berkembang menjadi suatu oligarki dalam pemerintahan. Memang, setiap oligarki selalu dapat berdalih bahwa meskipun kekuasaan ekonomi dan politik hanya ada pada beberapa orang, mereka tetap saja bekerja untuk kepentingan rakyat dan memperjuangkan kemajuan umum. Dalih seperti ini, seandainya pun benar terwujud dalam kenyataan (suatu yang hampir tak mungkin terjadi), secara prinsipiil tidak dapat diterima asas demokrasi. Karena rakyat tidak cukup hanya dijadikan obyek kebaikan dan kemurahan hati melalui kerja yang dilaksanakan ”untuk rakyat”. Prinsip demokrasi menetapkan bahwa rakyat adalah subyek kekuasaan politik dalam pemerintahan, malah subyek yang terpenting, dan hal ini harus diperlihatkan dalam pemerintahan ”dari rakyat” dan ”oleh rakyat” dan bukan saja dalam pemerintahan ”untuk rakyat”.
Dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia saat ini, dapat disaksikan bahwa asas ”dari rakyat” dan ”oleh rakyat” lebih sering disimulasikan dalam demokrasi prosedural melalui institusi-institusi politik, sementara pemerintahan ”untuk rakyat” cenderung diabaikan, khususnya melalui nepotisme dan kroniisme dalam politik.
Beberapa ahli hukum mengatakan bahwa kita sulit mengambil langkah-langkah untuk menentang praktik nepotisme saat ini karena belum ada undang-undang yang melarang praktik nepotisme. Pada hemat saya, keberatan semacam ini tidak mengimplikasikan bahwa nepotisme tidak bisa ditentang, tetapi justru menunjukkan belum lengkapnya sistem hukum kita.
Legislasi yang mempersulit
Pengalaman politik dalam masa pasca-Reformasi memberi beberapa contoh bahwa beberapa praktik yang tadinya dilakukan secara meluas, seperti pemberian hadiah besar-besaran kepada seorang atasan dalam birokrasi pada kesempatan tertentu (seperti pernikahan anaknya, atau hari raya), lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya, karena tanpa sengaja hadiah-hadiah itu berfungsi sebagai gratifikasi yang membuat orang yang menerima tidak dapat bersikap correct dalam jabatannya. Sekarang ini hal itu sudah sulit dilakukan karena sudah ada UU yang melarang gratifikasi semacam itu. Nepotisme jelas merugikan kehidupan politik dan praktik demokrasi karena beberapa kecenderungan dalam wataknya. Sifat eksklusif nepotisme mempersulit terciptanya tata kelola yang baik (good governance) karena kelompok yang mempraktikkan nepotisme cenderung tertutup, serta tidak mudah dimonitor dan diawasi. Ketertutupan itu sendiri sudah bertentangan dengan prinsip equal opportunity atau kesempatan yang sama untuk melakukan partisipasi politik secara terbuka karena peran-peran tertentu dalam pemerintahan sudah diblokir untuk anggota in-group yang menikmati hak-hak istimewa.
Dengan tertutupnya partisipasi politik untuk sebagian warga negara yang tidak termasuk dalam blok nepotisme, baik birokrasi maupun politik Indonesia tidak akan mendapat tenaga-tenaga terbaik dalam menjalankan tugas karena mereka sudah tersingkir secara alamiah dari pola perekrutan yang berlangsung tertutup. Selain itu, nepotisme akan terus berusaha melestarikan vested interest kelompoknya dengan mengorbankan kepentingan publik dan kemajuan umum. Kekayaan yang ekstrem dari sekelompok orang dan kemiskinan ekstrem dari banyak orang merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun dalam suatu negara yang beradab. Mungkin sudah saatnya perlu disusun legislasi yang akan mempersulit praktik nepotisme, kroniisme, dan dinasti politik dalam pemerintahan karena ini langkah pertama yang efektif menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat, yang menjadi alasan satu-satunya bahwa ada, mengapa harus ada, negara merdeka yang bernama Republik Indonesia.
Ignas Kleden, Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Artikel ini telah dimuat di kompas.com pada 31 Oktober 2013.
Source :indonesia.ucanews.com

Nepotisme, Kroniisme, Dinasti

Nepotisme, Kroniisme, Dinasti thumbnail

Ignas Kleden


Nepotisme, Kroniisme, Dinasti

Dalam tinjauan moral dan hukum, korupsi dan segala variannya adalah praktik yang harus ditolak dalam politik yang sehat dan demokratis. Namun, secara sosiologis meluasnya korupsi membawa suatu akibat yang menguntungkan bagi tegaknya public good governance karena bersama dengan terungkapnya kasus korupsi-korupsi besar, tersingkap juga berbagai konspirasi politik dalam bentuk nepotisme yang pada giliran berikutnya melahirkan kroniisme.
Ada persamaan dan perbedaan di antara nepotisme dan kroniisme sebagai praktik dalam birokrasi. Dua praktik itu mempunyai kesamaan bahwa penempatan seseorang dalam birokrasi tidak didasarkan pada kompetensi teknis, tetapi pada faktor-faktor nonteknis. Bedanya, dalam nepotisme, posisi dalam birokrasi ditentukan oleh hubungan kekeluargaan dan kekerabatan, sedangkan dalam kroniisme posisi itu ditentukan oleh hubungan perkoncoan. Dinasti politik merupakan gejala nepotisme, yang dalam perkembangannya akan menciptakan kroniisme.
Dalam organisasi yang baik, nepotisme dianggap sebagai praktik yang menyimpang. Namun, mengapa menyimpang? Ada pertanyaan kritis menyangkut soal ini yang patut mendapat perhatian. Apa dasarnya bahwa kalau saya menjadi gubernur, saudara-saudara saya tidak boleh bekerja dalam kantor gubernur, sekalipun mereka terbukti sanggup? Kalau mereka sudah melewati semua tes seleksi dengan benar dan lulus tes tersebut, mengapa mereka tak boleh mendapat pekerjaan dan posisi yang mereka kehendaki? Melarang mereka bekerja dalam kantor gubernur hanya karena mereka adalah sanak dan kerabat gubernur, bukankah itu suatu diskriminasi? Selayaknya mereka diterima bekerja sampai terbukti bahwa hubungan kekeluargaannya dengan gubernur membuat mereka melakukan penyimpangan dalam tugas, atau tidak bekerja efektif sebagaimana dituntut oleh tugasnya.
Kiranya jelas bahwa argumen seperti itu didasarkan pada asas nondiskriminasi dan asas praduga tak bersalah. Kita tahu juga bahwa praduga tak bersalah adalah asas yang berlaku dalam pengadilan. Namun, birokrasi pemerintahan dan manajemen organisasi bukanlah pengadilan. Di sini yang perlu dilakukan adalah mencegah kemungkinan dan memperkecil kesempatan untuk melakukan penyimpangan. Dengan demikian, yang harus berlaku dalam organisasi dan manajemen bukanlah asas presumption of innocence atau praduga tak bersalah, tetapi asas presumption of fallibility atau praduga tentang kemungkinan jatuhnya seseorang dalam kelemahan dan kesalahan karena ketiadaan kontrol. Seorang bos di kantor sebaiknya memercayai semua stafnya. Namun tak berarti lemari besi yang berisi uang kantor boleh dibiarkan tidak terkunci karena sangat besar kemungkinan uang itu menimbulkan godaan untuk diambil.
Rupanya ini juga pertimbangannya mengapa suami-istri tidak diperbolehkan bekerja dalam kantor bank yang sama karena diandaikan bahwa hubungan yang amat dekat antara suami dan istri akan mempersulit terjaganya kerahasiaan bank, yang dapat merugikan kepentingan nasabah serta merugikan reputasi dan kredibilitas bank tersebut. Kalau salah satu dari pasangan suami-istri itu ditolak oleh bank untuk bekerja di bank itu, walaupun yang bersangkutan sudah lulus tes seleksi dengan baik, kebijakan ini bukanlah suatu tindakan diskriminatif, tetapi tindakan preventif untuk mencegah pelanggaran kerahasiaan bank, yang besar kemungkinan akan terjadi, kalau ada hubungan personal yang terlalu dekat di antara karyawan seperti antara suami dan istri. Dalam hal ini, kalau harus ditunggu dulu sampai ada bukti terjadinya pelanggaran kerahasiaan bank, maka situasinya sudah terlambat, dan baik bank maupun nasabah sudah telanjur dirugikan.
Selain itu, cukup terbukti dalam beberapa kasus di Indonesia bahwa hubungan yang terikat oleh faktor kekeluargaan cenderung menjadi tertutup dan eksklusif, terutama apabila para kerabat itu sudah terlibat dalam penyelewengan dan pelanggaran hukum. Ketertutupan itu mempersulit transparansi dan akuntabilitas. Juga menjadi penghambat bagi monitoring dan pengawasan. Akibatnya, penyelewengan dan pelanggaran hukum yang terjadi akan terus menumpuk dari waktu ke waktu, dan merugikan kepentingan publik secara akumulatif.
Memperlemah birokrasi
Contoh ini memperlihatkan bahwa asas presumption of innocence tidak selalu tepat diterapkan di luar pengadilan, seperti juga asas presumption of fallibility tidak akan dibenarkan diterapkan di pengadilan. Di sini kita bisa berkata bahwa kebijaksanaan tercapai kalau kita berpegang pada asas right principle in the right place atau asas yang benar harus diterapkan di tempat yang benar. Inilah pertimbangan utama bahwa nepotisme dianggap praktik yang merugikan birokrasi dan manajemen karena hadirnya terlalu banyak kaum kerabat dalam birokrasi akan memperlemah sifat birokrasi yang seharusnya impersonal. Kita tahu pemerintahan dan birokrasi pemerintahan adalah lembaga publik, yang harus bertanggung jawab atas kepentingan umum melalui kebijakan-kebijakan publik. Karena itu, sifat publik dari jabatan-jabatan pemerintahan perlu dijaga agar tidak dipersulit oleh hubungan-hubungan yang terlalu personal, yang menjadi ciri pemerintahan patrimonial zaman baheula.
Kroniisme juga kadang kala dibela dengan jalan pikiran yang sama. Argumennya, kalau kita memulai suatu usaha, lebih baik memulainya bersama orang-orang yang sudah kita kenal, atau dengan teman-teman yang sudah saling tahu, daripada langsung mengajak orang-orang yang baru saja dijumpai dalam wawancara untuk perekrutan staf. Orang-orang yang sudah dikenal dan teman-teman dekat lebih mudah diramalkan perilakunya, dapat diperkirakan reaksinya dalam menerima usul atau suatu rencana kerja.
Hal-hal ini lebih sulit kalau kita langsung bekerja dengan orang-orang baru karena belum ada pegangan tentang bagaimana mengantisipasi sikap mereka terhadap teguran, peringatan, atau disiplin kantor yang hendak diterapkan. Di sini kita berhadapan dengan tingkat ketidakpastian yang terlalu tinggi, yang akan menyulitkan proses pengambilan keputusan dan menghambat juga implementasi keputusan yang sudah diambil.
Sebaiknya diperjelas di sini bahwa sekelompok orang dengan semangat yang sama dan visi yang sama memang lebih mudah menjalankan suatu usaha bersama, seperti mendirikan koran atau majalah, membangun sekolah, perguruan tinggi, mengelola sebuah klub sepak bola yang profesional, atau membangun sebuah perusahaan bisnis. Dalam situasi semacam itu, orang-orang yang saling mengenal ini tidak dapat dinamakan kroni, tetapi rekan kerja yang kompak yang dipersatukan oleh suatu komitmen yang sama. Perbedaan di antara teamwork dengan kroniisme ialah bahwa yang pertama bekerja untuk kepentingan usaha bersama dengan SOP yang jelas, sedangkan yang kedua bekerja untuk kepentingan dan keuntungan sekelompok orang dalam usaha bersama itu, berdasarkan favoritisme pemimpin kelompok. Kroniisme baru terjadi kalau segelintir orang dari mereka yang telah memulai usaha bersama mendapat dan menikmati keuntungan khusus yang tidak dibagikan kepada rekan-rekan lainnya. Dengan demikian, kroniisme selalu berdiri di atas suatu in-group yang menutup diri dari mereka yang tidak termasuk dalam kelompoknya, dan tidak memperjuangkan kepentingan bersama, tetapi membela suatu egoisme kelompok secara eksklusif.
Dalam politik, kroniisme seperti ini tidak saja menguasai sumber daya ekonomi, tetapi juga sumber daya politik yang berhubungan dengan akses kepada sumber daya ekonomi, dan cenderung berkembang menjadi suatu oligarki dalam pemerintahan. Memang, setiap oligarki selalu dapat berdalih bahwa meskipun kekuasaan ekonomi dan politik hanya ada pada beberapa orang, mereka tetap saja bekerja untuk kepentingan rakyat dan memperjuangkan kemajuan umum. Dalih seperti ini, seandainya pun benar terwujud dalam kenyataan (suatu yang hampir tak mungkin terjadi), secara prinsipiil tidak dapat diterima asas demokrasi. Karena rakyat tidak cukup hanya dijadikan obyek kebaikan dan kemurahan hati melalui kerja yang dilaksanakan ”untuk rakyat”. Prinsip demokrasi menetapkan bahwa rakyat adalah subyek kekuasaan politik dalam pemerintahan, malah subyek yang terpenting, dan hal ini harus diperlihatkan dalam pemerintahan ”dari rakyat” dan ”oleh rakyat” dan bukan saja dalam pemerintahan ”untuk rakyat”.
Dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia saat ini, dapat disaksikan bahwa asas ”dari rakyat” dan ”oleh rakyat” lebih sering disimulasikan dalam demokrasi prosedural melalui institusi-institusi politik, sementara pemerintahan ”untuk rakyat” cenderung diabaikan, khususnya melalui nepotisme dan kroniisme dalam politik.
Beberapa ahli hukum mengatakan bahwa kita sulit mengambil langkah-langkah untuk menentang praktik nepotisme saat ini karena belum ada undang-undang yang melarang praktik nepotisme. Pada hemat saya, keberatan semacam ini tidak mengimplikasikan bahwa nepotisme tidak bisa ditentang, tetapi justru menunjukkan belum lengkapnya sistem hukum kita.
Legislasi yang mempersulit
Pengalaman politik dalam masa pasca-Reformasi memberi beberapa contoh bahwa beberapa praktik yang tadinya dilakukan secara meluas, seperti pemberian hadiah besar-besaran kepada seorang atasan dalam birokrasi pada kesempatan tertentu (seperti pernikahan anaknya, atau hari raya), lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya, karena tanpa sengaja hadiah-hadiah itu berfungsi sebagai gratifikasi yang membuat orang yang menerima tidak dapat bersikap correct dalam jabatannya. Sekarang ini hal itu sudah sulit dilakukan karena sudah ada UU yang melarang gratifikasi semacam itu. Nepotisme jelas merugikan kehidupan politik dan praktik demokrasi karena beberapa kecenderungan dalam wataknya. Sifat eksklusif nepotisme mempersulit terciptanya tata kelola yang baik (good governance) karena kelompok yang mempraktikkan nepotisme cenderung tertutup, serta tidak mudah dimonitor dan diawasi. Ketertutupan itu sendiri sudah bertentangan dengan prinsip equal opportunity atau kesempatan yang sama untuk melakukan partisipasi politik secara terbuka karena peran-peran tertentu dalam pemerintahan sudah diblokir untuk anggota in-group yang menikmati hak-hak istimewa.
Dengan tertutupnya partisipasi politik untuk sebagian warga negara yang tidak termasuk dalam blok nepotisme, baik birokrasi maupun politik Indonesia tidak akan mendapat tenaga-tenaga terbaik dalam menjalankan tugas karena mereka sudah tersingkir secara alamiah dari pola perekrutan yang berlangsung tertutup. Selain itu, nepotisme akan terus berusaha melestarikan vested interest kelompoknya dengan mengorbankan kepentingan publik dan kemajuan umum. Kekayaan yang ekstrem dari sekelompok orang dan kemiskinan ekstrem dari banyak orang merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun dalam suatu negara yang beradab. Mungkin sudah saatnya perlu disusun legislasi yang akan mempersulit praktik nepotisme, kroniisme, dan dinasti politik dalam pemerintahan karena ini langkah pertama yang efektif menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat, yang menjadi alasan satu-satunya bahwa ada, mengapa harus ada, negara merdeka yang bernama Republik Indonesia.
Ignas Kleden, Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Artikel ini telah dimuat di kompas.com pada 31 Oktober 2013.
Source :indonesia.ucanews.com

Mukjizat yang Kreatif Terjadi Saat Orangtua Dihormati


Mukjizat yang Kreatif Terjadi Saat Orangtua Dihormati

Kalau kita pikir-pikir apakah hubungannya menghormati orangtua dengan lanjut umur? Bukankah lanjut umur bisa didapatkan dari hidup sehat dan menjaga tubuh? Namun Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa kita harus menghormati ayah dan ibu supaya lanjut umur. (baca Keluaran 20:12). Uniknya, di saat kita menghormati ayah dan ibulah, Tuhan berkata bahwa kita akan mendapatkan umur panjang. Artinya, ada mujizat yang terjadi saat kita menghormati kedua orang tua kita.

Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, untuk menyatakan kemuliaan dan kasih-Nya, dan juga untuk berkembang biak dan memenuhi bumi. Mereka kemudian membentuk keluarga yang merupakan inti dari kehidupan manusia. Di dalamnya terkandung perlindungan, keamanan dan solidaritas.
Semua agama umumnya setuju bahwa orangtua harus dihormati. Jadi sangat pantas kita menaikkan syukur kepada Allah untuk keluarga dan keberadaannya di dalam hidup kita. Dalam hukum yang kelima, Allah memerintahkan agar kita menghormati bukan hanya ayah, sebagai kepala rumah tangga dan pemberi nafkah, tapi juga ibu dan kaum wanita secara umum.

Hal yang alamiah pun terjadi di kalangan dunia binatang. Induk mereka memberi makan anak-anak dan menjagai mereka sampai mereka bisa mencari makanan sendiri. Ada ikatan dan hubungan alamiah yang sudah ditetapkan Allah dan tidak ada satupun pihak yang melanggarnya yang bisa lepas dari hukuman.
Meskipun begitu, kita belum tentu memiliki keluarga yang sempurna. Berita baiknya adalah ketika ada pengampunan dan kesabaran, maka akan ada kedamaian dalam keluarga. Namun, apapun kondisi keluarga kita, sangat baik bagi anak-anak untuk memahami bahwa berkat dari orangtua berlangsung dari keturunan ke keturunan.

Yesus mengajarkan tentang kunci dari sebuah keluarga yang diberkati ketika Ia mengatakan, "Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Matius 20:28). Anak Allah mendorong kita untuk mentaati prinsip ini dalam kehidupan keluarga sehari-hari.

Ingatkah Anda cerita sedih mengenai pemberontakan Absalom terhadap ayahnya, Daud? Cerita itu berakhir dengan kematian sang anak. Kita membaca di dalam Keluaran 21:15-17," Siapa yang memukul ayahnya atau ibunya, pastilah ia dihukum mati… Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya, ia pasti dihukum mati."

Baca juga Amsal 20:20 dan Ulangan 21:18-21. Semuanya mengungkapkan bagaimana Allah memperhatikan bagaimana sikap anak kepada orangtuanya dan ketaatannya akan mendatangkan berkat buat kehidupannya.
Kasih di dalam keluarga harusnya menjadi perwujudan dari kasih Allah. Dia juga memanggil kita untuk bergabung dalam keluarga-Nya sampai selamanya. Persekutuan dengan Allah Bapa yang menjadi sumber kedamaian dan ketenangan di dalam hidup kita. Kadangkala Allah memberikan kepada kita kesempatan untuk hidup di dalam persekutuan dengan orang-orang kudus di dunia ini. Karena itu, kita harus bersyukur kepada Bapa di surga untuk keluarga kita dan karena kita sudah dipanggil menjadi anggota dari keluarga surgawi-Nya.

Source : jawaban.com

Dari Seorang Penipu Menjadi Orang Terberkati

Dari Seorang Penipu Menjadi Orang Terberkati


Penipuan Yakub agar Esau menjual hak sulungnya terekam dengan jelas di Kitab Kejadian. Bahkan Yakub mengambil berkat sebagai anak sulung. Akibatnya, Esau membenci dan berusaha membunuh Yakub, itulah sebabnya dia kabur. Namun, meskipun Yakub hanya seorang penipu, pada akhirnya Tuhan pun tetap memberkati dia dan memakainya untuk memberkati Israel. Dari Yakublah lahir 12 suku Israel, dan namanya Israel pun diberikan kepadanya. Apa yang Yakub pelajari saat dia kabur?


Bebas dari Ketakutan Karena Kesalahan Masa Lalu (Kejadian 32:11, Kejadian 33:4)

Yakub telah menipu Esau, Ishak ayahnya, Laban paman sekaligus mertuanya. Itulah dia, seorang penipu di masa lalu, tentu hal itu sedikit banyak mempengaruhinya. Akan tetapi, ketika dia menerima berkat dari Tuhan, dia bebas dari ketakutan dan dosa masa lalunya, dia juga mendapat pengampunan dari Esau.


Menjadi Orang yang Rendah Hati (Kejadian 32:10)

Yakub menjadi rendah hati, hal ini terlihat saat dia berbicara pada Tuhan bahwa dia adalah orang yang tidak layak. Di sisi lain, dia juga terlihat begitu merendahkan dirinya di hadapan Esau dan bahkan menyebut Esau sebagai tuannya.


Mendapat Nama Baru (Kejadian 32:28)

Nama Yakub yang berarti penipu berubah menjadi Israel yang artinya menang lewat pergumulan. Demikian juga saat kita berubah karena Tuhan, maka kita akan mempunyai identitas baru, menjadi orang yang dapat diandalkan dalam pekerjaan Tuhan.


Dapat Melihat Tuhan (Kejadian 32:30)
Bagaimana mungkin seorang penipu dapat melihat Tuhan? Namun begitulah yang Yakub alami. Melihat Tuhan adalah perkara ajaib bagi siapapun. Kita juga dapat melihat Tuhan melalui perkara-perkara ajaib yang Tuhan sediakan bagi kita.


Menyaksikan Hal-Hal yang Ajaib (Kejadian 48:15)

Di masa tuanya, Yakub berpikir bahwa anaknya Yusuf sudah meninggal, namun kenyataan yang dia temui malah sebaliknya. Dia masih bisa melihat Yusuf, bahkan anaknya itu menduduki posisi terpenting kedua setelah Firaun di Mesir, dia bahkan masih bisa melihat cucunya dan memberkati mereka. Itu sebuah keajaiban yang luar biasa, mengingat betapa lamanya dia pikir telah kehilangan Yusuf.


Jika seorang penipu yang telah menipu orang-orang terdekatnya saja mampu diubahkan Tuhan dan dapat menjadi berkat buat bangsanya, kita juga dapat dipulihkan seperti itu. Mungkin kita berpikir, siapalah kita di antara milyaran manusia ini? Namun, jika pertobatan itu sungguh-sungguh datangnya, maka akan banyak hal-hal luar biasa yang akan kita alami bersama Tuhan.

Source : jawaban.com

Pemerintah China Sambut Baik Peran Pelayanan Sosial Gereja

Pemerintah China Sambut Baik Peran Pelayanan Sosial Gereja


Pemerintah China menyambut baik peran gereja dalam memberikan pelayanan sosial bagi masyarakat. Rencananya, pemerintah China bakal memberi kepercayaan bagi gereja untuk terlibat di bidang ekonomi dan politik.

"Pemerintah menyambut baik dukungan gereja. Kita kekurangan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan, jadi kita memerlukan peranan gereja dalam hal itu," kata pejabat pemerintah Wang Xinhua dalam Konferensi Shanghai yang bertajuk "Peran Kristen di China" yang digelar pekan lalu.

Ia menyampaikan bahwa kondisi sektor amal Negeri tirai bambu ini sedang mengalami krisis kepercayaan akibat skandal korupsi. Sehingga gereja diminta untuk ambil bagian dalam pelayanan sosialnya.

"Banyak masalah timbul akibat ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kekuasaan, ketimpangan, kesenjangan sosial antara kaya dan miskin karena kesalahan manajemen sumber daya, korupsi dan suap," tutur Profesor Choong Chee Pang, seorang pemimpin akademi salah satu Universitas di China.

Ia menegaskan bahwa gereja sangat diperlukan untuk menangani kondisi sosial di China khususnya bagi kalangan lanjut usia dan masyarakat miskin. "Gereja perlu menjadi nabi dan hamba," ujarnya.

Dalam hal ini gereja berfokus dalam penanganan medis bagi lanjut usia, pencegahan dan rehabilitasi narkoba serta HIV bagi kaum muda. Tak dapat disangkali bahwa kehadiran gereja selama 40 tahun di China sangat berdampak. Termasuk dalam penanganan gempa bumi di Shicuan pada tahun 2008. Gereja berkontribusi menyumbangkan tenaga medis terhadap korban.

Menabur kasih tanpa jemu-jemu akan menghasilkan buah manis yang dirasakan oleh banyak orang. Demikianlah peranan gereja yang seharusnya baik bagi gereja, masyarakat dan bangsa.

Source : jawaban.com

Paus Fransiskus Anjurkan Koruptor Dihukum Seperti di Kitab Lukas



"Yesus berkata : Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu dia dilemparkan ke dalam laut,"

Ketegasan Paus Fransiscus menentang korupsi disampaikan melalui khotbahnya. Dalam pernyataannya sejak memimpin 1,3 miliar umat Katolik Maret 2013 lalu, Paus asal Argentina itu menegaskan bahwa orang yang menyumbang uang ke gereja hasil dari mencuri uang rakyat harus dihukum.

"Yesus berkata : Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu dia dilemparkan ke dalam laut," ujar Paus yang mengutip perkataan Yesus dalam Injil Lukas. (Lukas 17:2 ) Pernyataannya ini disampaikan dalam misa Casa Santa Marta, Wisma Vatikan yang dipilihnya sebagai tempat tinggal.

Paus yang dikenal dengan pendekatannya yang lembut ini menggambarkan bahwa orang yang terlibat dalam korupsi itu seperti kuburan bercat putih. "Kuburan itu terlihat indah dari luar, namun di dalamnya penuh belulang dan kebusukan," ujarnya. "Sebuah kehidupan yang berlandaskan korupsi adalah pembusukan yang terselubung," katanya lagi seperti dikutip dari Telegraph, Selasa (12/11/2013).

Ini merupakan kedua kalinya Paus melayangkan kecaman kepada para pelaku kejahatan korupsi. Yang pertama dia layangkan pada Jumat pekan lalu (8/11). Manusia banyak yang disilaukan oleh uang dan rela menjadi hambanya. Tuhan katakan, cinta akan uang adalah akar kejahatan. Jika tidak hati-hati, maka kita akan terjerumus di dalamnya.
http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/90/news/131113131212/limit/0/Paus-Fransiskus-Anjurkan-Koruptor-Dihukum-Seperti-di-Kitab-Lukas
Source : jawaban.com

Bandingkan : 
indonesia.ucanews.com


Paus Fransiskus: Koruptor pantas dihukum


Paus Fransiskus: Koruptor pantas dihukum thumbnail 13/11/2013

Pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus, mengeluarkan peringatan keras pada para koruptor. Dengan mengutip Injil, dia mengatakan bahwa koruptor seharusnya diikat di sebuah batu lalu dilemparkan ke laut.
Seperti dikutip Telegraph, dan dilansir vivanews.com, Senin (11/11), dalam homilinya di Casa Santa Marta, Vatikan, Paus Fransiskus mengatakan bahwa umat Kristen memiliki “kehidupan ganda” jika memberikan sumbangan ke Gereja, sementara mencuri dari negara. Mereka, tegasnya, pantas dihukum.
“Yesus berkata: Lebih baik baginya jika batu giling diikatkan ke lehernya, dan dia dilemparkan ke laut daripada menyebabkan orang-orang kecil ini berbuat dosa,” kata Paus Fransiskus, seraya mengutip Injil Lukas.
Paus Fransiskus mengibaratkan para koruptor yang munafik seperti nisan yang putih bersih. “Mereka terlihat bagus dari luarnya, tapi di dalamnya, banyak mayat-mayat yang membusuk,” ujarnya.
Sebelumnya Jumat lalu, Paus Fransiskus juga mengecam umat Katolik yang hidup dengan harta berlimpah dari hasil suap. Dengan harta haram itu, kata Paus Fransiskus, mereka membelikan hadiah untuk anak-anak mereka dan menyekolahkan di sekolah mahal.
“Mereka yang menerima suap telah kehilangan martabat dan telah memberikan anak-anak mereka roti yang kotor,” ujarnya.
“Orang-orang malang ini telah kehilangan harga dirinya pada kebiasaan menerima suap,” kata Paus Fransiskus, seraya menambahkan bahwa perilaku menerima suap layaknya narkotika, membuat orang yang terbiasa melakukannya merasa ketagihan.
http://indonesia.ucanews.com/2013/11/13/paus-fransiskus-koruptor-pantas-dihukum/?fb_action_ids=244787559012546&fb_action_types=og.likes&fb_source=hovercard

Recent Post