Latest News

Showing posts with label Yesus Kristus. Show all posts
Showing posts with label Yesus Kristus. Show all posts

Sunday, September 9, 2012

Homili Minggu Biasa Ke-23 (9 September 2012) oleh Pater Phil Bloom



Sebuah Karya Pembebasan

Bottom line: Yesus menginginkan anda pergi menjauh bersama Ia untuk sebuah karya pembebasan.

Kita memiliki sebuah Injil hari ini yang menarik perhatian kita � tidak hanya kepada mujizat, tetapi cara Yesus menyelesaikannya.

Ia menyembuhkan orang tuli, tidak dengan kata-kata sederhana atau sentuhan. Ia membawa orang itu jauh dari kerumunan, menempatkan jari-jari-Nya di telinga orang itu, meraba lidah orang itu dengan ludah-Nya, lalu menarik nafas dan berkata: �Efata �Terbukalah.�


Semua ini menunjukkan bahwa Yesus sedang melakukan lebih dari sekadar penyembuhan biasa. Ia sedang menunjukkan karya pembebasan.

Dalam rangka untuk membebaskan manusia, Yesus harus pertama-tama menarik diri-Nya dari keramaian. Sesuatu yang sama harus terjadi kepada kita.

Kebiasaan kita dalam Misa � seperti yang kita pelajari minggu lalu � adalah seperti laba-laba yang melemparkan jaring-jaring lengket kepada kita. Masyarakat zaman sekarang bergerak pada dua asumsi: Pertama, bahwa keberadaan (eksistensi) itu adalah acak, sebuah kebetulan. Dan yang kedua, bahwa menjadi pria atau wanita telah menempatkan dalam diri kita dorongan bahwa hal menjadi pria atau wanita ini hanyalah sebuah kebiasaan saja untuk dilakukan. Hal terbaik yang dapat anda lakukan, berdasarkan budaya kita sekarang, adalah melindungi diri anda sendiri dari penyakit-penyakit dan konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan, seperti Memiliki seorang bayi.

Beato Yohanes Paulus II berbicara mengenai hal ini sebagai budaya kematian (culture of death). Yesus ingin membebaskan kita dari budaya itu. Ia tahu bahwa keberadaan kita memiliki sebuah tujuan, bahwa anda dan saya tidak diciptakan secara acak, tetapi dengan sebuah rencana. Dan bahwa Allah menciptakan kita pria dan wanita untuk sebuah tujuan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Yesus harus menembus jaring-jaring budaya kematian yang telah dilemparkan di atas kita.

Yesus ingin membebaskan kita, tetapi kita harus melakukan sesuatu pada giliran kita. Saya senang untuk meletakkan hal ini dalam bentuk sebuah �Resolusi Tahun Baru�. Permulaan sebuah tahun ajaran baru, bagi banyak dari kita, adalah awal dari sebuah tahun baru. Saya meminta anda untuk membuat sebuah resolusi untuk menyisihkan waktu setiap hari, sendirian bersama Yesus. Salah seorang pastor muda kita, Pater Kurt Nagel, meminta umatnya untuk berkomitmen setidaknya 20 menit sehari untuk doa hening. Dapatkah anda melakukannya?

Untuk membebaskan seseorang, Yesus membutuhkan pula kerjasama orang itu. Kita tidak sedang berbicara mengenai sesuatu yang sederhana dan manis. Tidak, doa [justru] melibatkan kita dalam sebuah pertempuran rohani. Perhatikan bahwa, sebelum menyembuhkan orang itu, Yesus menarik nafas dalam-dalam. Itu adalah sebuah tanda perjuangan. Untuk melakukan sebuah karya pembebasan, Yesus membutuhkan perhatian penuh kita. Dapatkah anda memberinya 20 menit setiap hari?

Yesus terutama ingin membebaskan orang-orang muda. Dia ingin anda tahu bahwa anda tidak sampai di sini oleh karena kebetulan. Sebaliknya, anda dicintai � sangat dicintai. Allah telah memberikan sebuah takdir yang tidak ada orang lain dapat genapi � tetapi hal ini akan melibatkan sebuah pertempuran rohani. Dan musuh bebuyutan memiliki sebuah senjata baru � budaya kematian. Dia akan melemparkan apa saja melawan anda � untuk menjauhkan anda dari tujuan anda.

Budaya kematian menyebabkan orang-orang muda menghindari komitmen, tanggung jawab. Dan budaya kematian mendorong wanita-wanita muda untuk menggunakan feminitas mereka untuk merasa diinginkan, dibutuhkan.

Seorang pria mungkin berkata, �Saya sedang melakukan sesuatu dengan OK. Saya telah merencanakan untuk studi dan mendapatkan sebuah pekerjaan. Apa masalah besarnya bila saya bermain video game dan pergi berjalan-jalan dengan teman-teman saya? Mengapa saya harus mengambil sejumlah hal-hal merepotkan?

Dan seorang wanita muda mungkin berkata, �Saya senang memiliki kontrol. Mengapa saya harus kembali ke pembatasan-pembatasan lama?�

Well, Yesus tidak ingin membatasi setiap orang. Kebalikannya � Ia ingin membuka kemungkinan-kemungkinan lain. Pikirkan tentang orang tuli itu. Dia tidak pernah mendengarkan suara-suara sehingga dia tidak tahu apa yang hilang. Tetapi ketika Yesus membawanya keluar kerumunan dan melakukan karya pembebasan, tiba-tiba ia mendengarkan suara-suara hewan dan anak-anak. Untuk pertama kalinya, ia mendengarkan suara angin, air, musik, lagu-lagu dan cerita-cerita. Dan di atas semua, ia mendengarkan suara yang indah. Yang begitu berharga adalah suara kata pertama yang orang itu selamanya ingat � Efata, Terbukalah.

Yesus membebaskan orang itu. Kemampuan untuk mendengar dan berbicara memberikan ia cakrawala baru. Dia bisa berelasi dengan orang lain dan dengan Allah dalam cara yang baru. Ia sekarang dapat mendengarkan orang lain dan berbicara kepada mereka. Dan juga untuk memuji Allah dengan bibirnya.

Seperti yang Yesus lakukan kepada orang tuli itu, Yesus juga ingin melakukan hal yang sama kepada kita � untuk membuka sebuah dunia makna dan tujuan. Terutama bagi orang muda kita, Yesus ingin membebaskan anda dari budaya kematian. Ia ingin anda menyadari makna dari maskulinitas atau feminitas anda: kuasa untuk membuat pemberian total bagi sesama dan dengan pemberian itu, membuka diri anda sendiri kepada hidup.

Kita menginginkan pembebasan Yesus bagi orang-orang muda kita � dan kita orang-orang tua juga membutuhkan penyembuhan. Seperti orang-orang dalam Injil hari ini, kita tahu bahwa hanya Yesus yang dapat memberikan kebebasan yang nyata.

Yesus ingin anda dan saya pergi menjauh dari keramaian, dari kebudayaan kita yang beracun. Berikan pada-Nya perhatian penuh anda � 20 menit sehari. Biarkan Yesus meletakkan jari-jari-Nya di telinga anda dan menyentuh lidah anda untuk melakukan sebuah karya pembebasan. Efata. Terbukalah. Amin

Pater Phil Bloom adalah Pastor Paroki St. Mary of the Valley, Monroe
Homili di atas diterjemahkan dari situs resmiparoki tersebut.
Pax et Bonum



Friday, August 31, 2012

Paus Benediktus XVI: Kita Mengerti Karena Kita Telah Percaya



Pada hari Minggu (26 Agustus 2012), Paus Benediktus berdoa Angelus bersama dengan umat beriman yang berkumpul di kediaman musim panas Paus di Kastil Gandolfo. Sebelum mendaraskan doa Marian, Bapa Suci berefleksi mengenai bacaan hari itu. Injil hari itu berhungan dengan cerita mengenai reaksi murid-murid Kristus terhadap pembicaraan Yesus mengenai Roti Hidup. Banyak murid-murid meninggalkan Yesus. Paus berkata hal ini karena wahyu Kristus bahwa Ia adalah �Roti Hidup yang turun dari surga� tidak dapat diterima oleh mereka. Mereka memahami kata-kata Yesus dalam sense materi (sense seperti Kanibalisme, red), ketika dalam realitas kata-kata tersebut adalah wahyu mengenai Misteri Paskah Yesus. Para Rasul, bagaimanapun juga, tetap bersama dengan Tuhan. Paus Benediktus, mengutip St. Agustinus, berkata bahwa Para Rasul memahami bahwa Yesus memiliki perkataan hidup yang kekal karena mereka telah lebih dulu percaya.


Salah seorang dari mereka tetap bersama Yesus, walaupun tidak percaya. Yudas, mengharapkan Mesias duniawi, merasa dikhianati oleh Yesus dan memutuskan untuk mengkhianati Yesus pula. Masalah Yudas, kata Paus Benediktus, adalah bahwa Yudas tidak percaya Yesus tetapi meskipun demikian Yudas tetap bersama dengan Yesus. �Masalahnya adalah Yudas tidak pergi dan kesalahannya yang paling serius adalah kebohongan (dusta) yang merupakan tanda Iblis.� Menutup itu, Paus Benediktus XVI berdoa semoga Maria �menolong kita untuk percaya pada Yesus, seperti yang St. Petrus lakukan, dan untuk tetap selalu tulus hati kepada Dia dan semua orang.�

Teks Penuh dari Pesan Angelus Paus Benediktus XVI dapat dibaca di bawah ini:

Saudara-saudari terkasih!
Dalam beberapa minggu yang lalu, kita telah merenungkan mengenai ceramah �Roti Hidup�yang Yesus ucapkan di Sinagoga di Kapernaum setelah memberikan makan ribuan orang dengan 5 roti dan 2 ikan. Hari ini, Injil menampilkan  reaksi para murid terhadap ceramah tersebut, sebuah reaksi yang Kristus sendiri pancing dengan sadar. Pertama-tama, Yohanes Penginjil � yang hadir bersama dengan Para Rasul lainnya � melaporkan bahwa �mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.� (Yoh 6:66). Mengapa? Karena mereka tidak percaya akan kata-kata Yesus ketika Ia berkata: �Akulah Roti Hidup yang turun dari Surga. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal� (bdk Yoh 6:51,54). Wahyu ini, seperti yang sudah saya katakan, tetap tidak dapat dimengerti oleh mereka karena mereka memahaminya dalam sense materi, sementara di dalam kata-kata ini dinubuatkan Misteri Paska Kristus di mana Ia akan memberikan Diri-Nya sendiri bagi keselamatan dunia: kehadiran baru dalam Ekaristi Kudus.

Melihat bahwa banyak murid-Nya pergi, Yesus bertanya kepada Para Rasul: �Apakah kamu tidak mau pergi juga?� (Yoh 6:67). Seperti di perkara-perkara lain, adalah Petrus yang menjawab mewakili Kedua Belas [Rasul]: Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.� (Yoh 6:68-69). Mengenai perikop ini kita memiliki komentar yang indah dari St. Agustinus, yang berkata dalam salah satu homilinya mengenai Yohanes 6: �Apakah kamu melihat bagaimana Petrus, oleh karena rahmat Allah, [dan] oleh karena inspirasi Roh Kudus telah mengerti? Mengapa Petrus mengerti? Karena dia percaya. Engkau memiliki perkataan hidup yang kekal. Engkau memberikan kamu kehidupan kekal dengan menawarkan tubuh-Mu dan darah-Mu, sungguh diri-Mu sendiri. Dan kami telah percaya dan mengerti. Ia (Yesus) tidak berkata bahwa kita telah mengerti baru kemudian kita percaya, tetapi kita percaya [lebih dulu] dan kemudian kita mengerti. Kita telah percaya supaya kita dapat mengerti; bila, dalam faktanya, kita ingin mengerti [lebih dulu] sebelum mempercayai, kita tidak dapat baik mengerti maupun mempercayai. Apa yang telah kita percaya dan apa yang kita telah mengerti? Bahwa Engkau adalah Kristus, Anak Allah, bahwa Engkau adalah sungguh hidup yang kekal dan bahwa Engkau memberikan hanya diri-Mu dalam daging dan darah-Mu.�

Akhirnya, Yesus mengetahui bahwa bahkan di antara Kedua Belas Rasul, ada seorang yang tidak percaya: Yudas. Yudas dapat pergi seperti para murid lain lakukan; tentu ia akan pergi bila ia jujur. Tetapi ia tetap bersama dengan Yesus. Ia tidak tetap tinggal karena iman atau karena cinta kasih tetapi dengan intensi rahasia untuk membalas Guru-nya. Mengapa? Karena Yudas merasa dikhianati Yesus dan memutuskan bahwa adalah giliran dia mengkhianati-Nya. Yudas adalah seorang kaum Zelot dan menghendaki Mesias yang jaya, yang akan memimpin sebuah pemberontakan melawan orang-orang Romawi. Yesus telah mengecewakan harapan-harapan tersebut. Masalahnya adalah bahwa Yudas tidak pergi dan kesalahannya yang paling serius adalah dusta, yang merupakan tanda dari Iblis. Inilah mengapa Yesus berkata kepada Kedua Belas Rasul: Seorang di antaramu adalah Iblis� (Yoh 6:70). Kita berdoa kepada Perawan Maria, untuk membantu kita percaya kepada Yesus, seperti yang St. Petrus lakukan dan untuk selalu tulus hati kepada Dia dan semua orang.


Diterjemahkan dari news.va oleh Indonesian Papist

Pax et Bonum

Saturday, July 14, 2012

Bulu Mata di Padang Gurun - Suatu Ziarah untuk Menemukan Kemanusiaan Yesus




Suatu tengah malam pada waktu retret, saya masuk ke kapel. Ketika saya mencari tombol untuk menyalakan lampu di bagian belakang ruangan, secara tidak sengaja saya melihat salib yang besar tergantung di dinding. Karena alasan yang aneh saya berjalan mendekati salib dan memandang wajah Kristus secara langsung. Saya tidak tahu pasti apa yang saya harapkan, tetapi saya terkejut oleh apa yang saya temukan. Mata patung Kristus mempunyai bulu mata yang terbuat dari rambut manusia. Tatapan ke wajah Kristus pada malam itu sangat mengesankan � tidak ada yang lebih mengesankan saya, yaitu kemanusiaan Yesus yang sederhana dan dapat disakiti. Ia menyelesaikan misi-Nya dengan mengalami bermacam rasa sakit seperti misalnya merasakan lapar, tidak bisa tidur, lelah dan sakit.


Dampak langsung dari penemuan saya itu ialah kesadaran yang tak akan pernah hilang bahwa Kristus juga menangis karena sukacita dan bahagia. Seperti kita, Ia juga mencium wanginya bebungaan, menikmati keindahan mentari terbenam. Ia mengenal nyamannya pelukan hangat serta pandangan yang tidak berperasaaan dan menolak-Nya. Ketik saya membaca dua bab pertama dari Injil Lukas sebagai tugas yang diberikan oleh pembimbing retret, penjelasan Lukas tentang hal-hal khusus seperti waktu dan tempat mempunyai makna baru. Yesus dilahirkan �pada zaman Herodes, raja Yudea� (Luk 1:5). �Dalam bulan keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret� (Luk 1:26). Maria, bergegas berangkat berjalan �ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda� (Luk 1:39). Dan Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah �menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia� (Luk 2:1). Di masa lalu detil-detil ini tidak banyak berarti, bukankah penulis Injil lain tidak seteliti itu mengenai hal-hal ini. Tetapi dengan kesadaran yang lebih tinggi tentang kemanusiaan Kristus, keterangan Lukas tentang tempat-tempat dan waktu-waktu bersejarah ini membuat saya menjumpai Yesus dengan cara yang baru. Penyelamat kita, sama seperti kita, dihubungkan dengan waktu dan ruang. Ia membangun jalan keselamatan di tengah-tengah suatu tempat tertentu, dan dalam sebuah keluarga dan rutinitas. Ia tidak dibebaskan dari kehidupan sehari-hari.

Misalnya, dalam Lukas 5, Yesus melihat �dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya sedang turun dan membasuh jalanya� (Luk 5:2), itu adalah pemandangan yang biasa, tidak ada yang ilahi ataupun luar biasa. Orang-orang ini bisa saja sedang mengisi bensin ke mobil, atau bekerja di ladang, atau sibuk dengan komputer mereka. Hidup-Nya sehari-hari sangat biasa, normal. Karena bagian yang terberat dalam perjalanan hidup ini adalah menghayati kehidupan yang begitu-begitu dan biasa saja, maka perlulah kita mengingat bahwa Yesus juga mengalami rutinitas yang membosankan itu.

Karya klasik Thornton Wilder �Our Town� mengagungkan sifat universal, cinta dan kematian. Untuk melakukan hal itu sang penulis drama mendasarkan dramanya pada suatu tempat tertentu. Maka kita diberi tahu bahwa �Nama kota itu adalah Grover�s Corners, New Hampshire � dekat perbatasan Massachusetts; garis lintang 42 derajat 40 menit, garis bujur 70 derajat 32 menit.  Babak pertama memperlihatkan kegiatan sehari-hari di kota kami. Hari ini adalah tanggal 7 Mei 1901.� Kisahnya mempunyai implikasi universal tentang kehidupan dan kematian, tetapi kotanya sudah tertentu dan waktunya tertentu. Hidup bagi kita semua, termasuk bagi Yesus, harus dijalani secara khusus.

Tetapi memikirkan tentang Yesus yang merasakan ketegangan otot-otot serta merasakan lapar, dan bahkan mempunyai akar-akar geografis-Nya, hanya menghantar kita sampai di situ saja. Yang penting adalah perubahan-perubahan yang terjadi karena digerakkan oleh inkarnasi. Yesus sebagai manusia yang mempunyai bulu mata, dapat melihat kemungkinan-kemungkinan yang ilahi. Ia tidak terikat oleh realita-realita hidup yang sesaat dan tertentu. Ia dapat melihat melampaui batas-batas duniawi itu.

Kisah Yohanes tentang perkawinan di Kana mengabadikan bagi kita saat transformasi semacam itu. � Di situ ada enam tempayan yang disediakan untuk pembasuhan menurut adat orang Yahudi, masing-masing isinya dua tiga buyung�. (Yoh 2:6). Tempayan-tempayan ini digunakan untuk pembasuhan, tetapi Yesus melihat kemungkinan lain. Ia mengetahui bahwa tempayan-tempayan itu dapat diisi dengan anggur. Ciri itu, kemampuan untuk melihat adanya kemungkinan luar biasa dalam situasi yang rutin, merupakan ciri khas Yesus. Perkawinan merupakan norma umum dalam kehidupan Yahudi; Yesus dan Ibu-Nya pasti telah menghadiri banyak pesta kawin. Ia mengambil saat, dengan dorongan ibu-Nya, untuk membuat mujizat. Dalam semua Injil dilukiskan kemampuan Kristus tanpa batas untuk melihat kemungkinan-kemungkinan, untuk melihat pertobatan hati setiap orang berdosa, untuk membayangkan kesehatan meskipun yang dihadapi adalah penyakit.

Karena pengertian saya tentang kemanusiaan Yesus menjaid pusat perhatian dalam retret saya, maka saya masih meneruskan berdoa dan membaca bacaan-bacaan yang serupa setelah retret berakhir. Saya mulai membaca Injil dengan membuka peta Palestina. Seperti nama-nama tempat dalam awal Injil Lukas, petunjuk-petunjuk geografis lain yang sudah sangat kita kenal mungkin kita abaikan. Membaca Injil sambil melihat peta Palestina mengajarkan hal yang penting tentang daya tahan Yesus. Perjalanan kaki bermil-mil melalui daerah berbukit-bukit - ditambah dengan pekerjaan-Nya sebagai tukang kayu dan tukang batu di bengkel Yosef � membuat Yesus menjadi seorang yang kuat perkasa. Dalam Injil Lukas banyak disebut tentang perjalanan Yesus. �Kemudian Yesus pergi ke Kapernaum� (Luk 4:31). �Ketika hari siang, Yesus berangkat dan pergi ke suatu tempat yang sunyi� (4:42). �Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa� (Luk 6:12). �Ketika Yesus pergi ke suatu kota yang bernama Naim� (Luk 7:11). Ia selalu dalam perjalanan � dan melalui daerah yang berbatu-batu dan berbukit-bukit. Pasti Ia sangat sehat.

Gambar-gambar dari negeri yang didiami Yesus meskipun melukiskan keindahan juga menunjukkan daerah perbukitan batu. Orang yang tersandung batu di daerah perbukitan Yudea dapat mati karena terjatuh. Hanya dengan daya tahan yang tinggi Yesus dapat berjalan pulang balik melalui daerah yang keras ini.

Sebagaimana realita eksternal dari bulu mata Yesus membuat saya memahami penglihatan-Nya ke dalam batin manusia, demikian pula pemahaman tentang kekuatan fisik-Nya membuat saya menyadari kedisiplinan-Nya, kekerasan-Nya. Ada beberapa contoh dari tuntutan Yesus mengenai hal-hal rohani yang tidak dapat ditawar, suatu ketetapan hati yang sepadan dengan kekuatan fisik-Nya.

Misalnya di dalam Lukas kita membaca tentang seorang perempuan yang bertobat, mengurapi kaki Yesus dengan minyak ketika Ia sedang makan di rumah seorang Farisi (Luk 7:36:50). Orang Farisi itu tidak mengatakan apa-apa tetapi berpikir, �Jika Ia nabi, tentu Ia tahu, siapakah dan apakah perempuan yang menjamah-Nya ini, bahwa ia adalah seorang berdosa.� Meskipun si Farisi tidak mengatakan apa-apa, Yesus berkisah untuk menjawab �apa yang dipikirkan orang itu�. Injil menganjurkan agar pikiran-pikiran kita yang berlawanan dengan ajaran Yesus tidak dibiarkan. Yesus berkata kepada tuan rumah-Nya, �Engkau tidak memberikan Aku air untuk memasih kaki-Ku. �Engkau tidak mencium Aku.� �Engkau tidak mengurapi kepala-Ku dengan minyak.� Ia kemudian menunjukkan kemurahan hati yang dimiliki oleh perempuan yang bertobat itu. Meskipun orang Farisi itu menjadi tuan rumah serta menjamu Yesus, tetapi itu saja belumlah cukup. Yesus menegurnya karena ia tidak melakukan lebih banyak. Pesan yang dikatakan Yesus, seorang laki-laki yang mempunyai kekuatan jasmani dan rohani, merupakan pesan yang keras.

Lalu, ketika Yesus mengutus murid-murid-Nya, Ia berpesan, �Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju.� (Luk 9:3). Tugas yang dihadapi Para Rasul itu berat, mungkin merupakan tugas yang paling menakutkan dan membutuhkan keberanian yang luar biasa yang pernah mereka lakukan. Tetapi Yesus mengatakan, �Tegarlah. Jangan melindungi diri dengan membawa terlalu banyak barang-barang.� Dan tentu saja dengan mengikuti nasihat-Nya, Para Rasul mampu menyebarkan kabar baik.

Dan bagaimana dengan nasihat yang keras dalam Markus 9:38-50? Daripada menyesatkan seseorang �lebih baik jika sebuah batu kilangan diikatkan� pada leher kita �lalu dibuang ke dalam laut�. Jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah�. �Jika kakimu menyesatkan engkau, penggallah�. �Jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah�. Betapa keras kata-kata itu. Kita tidak dapat menghindar dari pesan yang disampaikan: mengikuti kehendak Allah menuntut segala yang kita miliki; mungkin kita tidak kuatir tentang mata atau tangan atau kaki kita. Tetapi barangkali sifat kita, kekerasan kepala, kerasukan atau keserakahan kitalah yang mengganggu kita. Apa pun halangan bagi keselamatan kita harus �dipenggal�.

Setelah  beberapa bulan bertumbuh dalam permahaman tentang Yesus Kristus, manusia yang dapat disakiti dan kuat ini, saya ingin melihat negeri di mana Yesus pernah hidup. Saya ingin berjalan di daerah yang telah saya lihat dalam peta. Saya ingin melihat apa yang dilhat oleh mata-Nya. Maka saya berziarah ke tanah suci.

Gurun Yudea meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Dengan melihat tebing-tebing batu, gua-gua kosong, dan gunung-gunung batu, membuat saya memahami secara baru betapa kuat dan berdisiplinnya Yesus. Ketika iblis mencobai-Nya di padang gurun, seperti yang kita baca dalam Lukas 4:1, Yesus �dipenuhi Roh Kudus� setelah dibaptis. Tetapi hidup dalam Roh tidak membebaskan-Nya dari cobaan. Saat saya berdiri di tengah padang gurun, saya mencoba membayangkan Yesus berjuang melawan iblis. Seorang diri di padang gurun, jauh dari pekerjaan dan sahabat-sahabat, Yesus dapat dengan mudah menyerah pada dorongan-dorongan mental dari raja kegelapan yang licik: �Jika Engkau Anak Allah, suruhlah batu ini menjadi roti� (Luk 4:3). �Segala kuasa itu serta kemuliaannya akan kuberikan kepada-Mu� (Luk 4:6). �Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu dari sini ke bawah� (Luk 4:9). Dalam keadaan lapar di daerah berbatu-batu dan gersang itu, roti dapat menjadi godaan yang nyata. Istana Herodes yang terletak di sebelah selatan, tampak dari bukit batu, dan menjadi godaan yang kuat untuk memiliki kekuasaan duniawi. Dan tebing-tebing batu yang tak berkesudahan, penuh dengan bahaya, dapat menjadi dorongan untuk berspekulasi tentang janji Allah mengirim malaikat-malaikat penolong. Sebelum saya mengunjungi padang gurun, jawaban Yesus kepada Iblis terdengar terus terang, �Jangan engkau mencobai Tuhan Allahmu!� (Luk 4:12). Yesus dengan jelas mengatakan kepada Iblis bahwa mencobai Tuhan itu merupakan perbuatan yang tidak dapat diterima.

Ketika saya berdiri di padang gurun dan menyadari betapa kuat Yesus menghadapi godaan-godaan, saya teringat pada penemuan saya waktu retret, yaitu bulu mata dan kemanusiaan-Nya yang dapat disakiti. Dengan semakin menyadari kemanusiaan-Nya saya semakin bersyukur atas karunia iman Kristiani yang saya dapatkan. Dan rasa syukur itu menambah keinginan saya untuk meneladan Dia, yang keilahian-Nya memancar terang melalui kemanusiaan-Nya.

ditulis oleh Anne Marie Drew dalam Sabda Allah Bagi Anda ed. April 1997

Recent Post