Latest News

Showing posts with label Perkawinan. Show all posts
Showing posts with label Perkawinan. Show all posts

Sunday, August 19, 2012

Tujuh Poin Checklist bagi Para Ayah Katolik


Kali ini Indonesian Papist menemukan sebuah artikel menarik bertemakan keluarga Katolik yang berbicara mengenai poin-poin penting yang harus dilakukan oleh seorang ayah Katolik dalam keluarga. Artikel ini ditulis oleh Mr. Randy Hain, penulis buku The Catholic Briefcase, di situs The Integrated Catholic Life. Artikel ini sendiri relevan juga dibaca oleh para pria dewasa yang sudah merencanakan untuk berkeluarga maupun yang belum. Saya berkesempatan untuk menerjemahkan bebas artikel tersebut sembari memberikan tambahan penjelasan yang relevan. Silahkan artikel ini dibaca pelan-pelan dengan tenang. Bila berkenan terhadap artikel ini silahkan share/berbagi dengan suami atau ayah anda masing-masing. Semoga artikel ini bermanfaat. Selamat membaca!


Tujuh Poin Checklist bagi Para Ayah Katolik

Saya berbicara dengan teman saya sesama ayah sambil makan siang baru-baru ini mengenai tantangan-tantangan dalam membesarkan anak-anak pada masa sekarang. Setelah saling bertukar cerita dan diskusi tentang pengaruh-pengaruh budaya yang buruk, teman saya meninggalkan meja sambil berkata, �Saya harus kembali ke kantor. Lain kali saat kita bertemu lagi kita sebaiknya saling mengungkapkan gagasan kita mengenai daftar periksa (Checklist) yang berguna bagi para ayah sehingga kita tidak melupakan apa yang seharusnya kita lakukan!� Pernyataan itu telah menjebak saya untuk berpikir sejak pertemuan kami tersebut dan saya memutuskan bahwa saya tidak dapat menunggu lagi sampai makan siang berikutnya untuk menggali lebih dalam mengenai topik ini. Taruhannya terlalu tinggi dan generasi anak-anak sekarang sangat membutuhkan ayah mereka untuk melangkah bersama tanggungjawab mereka.

Saya terberkati tumbuh bersama dengan orang tua yang hebat. Kami tidak memiliki banyak uang, tetapi orang tua kami memastikan saudari saya dan saya memiliki cinta kasih, disiplin, iman, nilai-nilai yang teguh dan etos kerja yang solid. Ibu saya memainkan peran penting dalam keluarga kami sama seperti yang semua ibu umumnya lakukan. Tetapi, sembari saya bertumbuh besar, saya menemukan bahwa diri saya paling menyerupai ayah saya. Saya meneruskan kepada anak-anak saya banyak pelajaran berharga yang ayah saya ajarkan kepada saya dan saya masih mengharapkan kebijaksanaan dan saran kepadanya. Mari lihat kembali didikan yang anda terima. Peran apa yang ayah anda mainkan? Apakah ada model peran lain? Sama seperti banyak dari kita menghidupi pelajaran-pelajaran yang kita pelajari di masa muda kita, anak-anak kita kelak akan meniru kita. Anak-anak kita selalu menyaksikan kita dan kita sebagai ayah harus memutuskan apakah kita akan menjadi panutan heroik mereka yang secara konsisten memberikan teladan yang benar atau melepaskan tanggungjawab kebapakan kita kepada banyak pengaruh-pengaruh sosial yang buruk. Apa yang kita pilih?

Saat saya merenungkan komentar teman saya tersebut mengenai checklist bagi para ayah, saya membuatkan daftar sejumlah tindakan yang saya sedang lakukan yang saya pelajari dari ayah saya dan pengalaman saya sendiri sebagai orang tua. Membuat daftar-daftar ini sungguh memvonis dan menantang bagi saya karena saya menjadi sangat sadar di mana saya seringkali jatuh dalam membesarkan anak-anak saya. Tetapi, merenungkan daftar ini juga telah menginspirasi saya dan saya mencoba untuk bercermin terhadap tindakan-tindakan tersebut selama waktu doa saya setiap hari. Saya memiliki jalan panjang untuk dilalui tetapi saya percaya bahwa menghidupi harapan-harapan di bawah ini akan menjaga saya berjalan menuju ke arah yang benar.
  
Berserah Diri. Kita harus berserah diri secara berkelanjutan kepada Kristus agar kehendak-Nya yang terjadi dalam hidup kita. Kita tidak dituntut sebanyak apa yang kita sendiri kehendaki! St. Ignasius dari Loyola sekali waktu berkata: �Hanya sedikit jiwa memahami apa yang Allah ingin capai dalam diri mereka [yaitu] bila mereka menyerahkan diri mereka sendiri tanpa syarat kepada Allah dan bila mereka membiarkan rahmat Allah membentuk mereka sesuai yang Allah kehendaki.�

Menjadi Seorang Lelaki Pendoa. Anak-anak kita akan lebih mungkin ingin berdoa bila kita berdoa juga. Bekerjalah mengembangkan rutinitas doa sehari-hari (tapi bukan sekadar rutinitas saja) dengan tujuan setidaknya satu jam dalam sehari dikhususkan untuk berdoa. Terdengar sulit? Pikirkanlah berapa banyak waktu menonton yang kita habiskan setiap hari. Pikirkanlah berapa banyak waktu yang kita habiskan di kendaraan kita setiap hari dan berapa banyak waktu yang kita khususkan untuk berolahraga. (Tambahan Indonesian Papist: Pikirkanlah pula berapa banyak waktu yang kita habiskan di internet dan jejaring sosial.) Kita memiliki waktu lebih dari cukup untuk berdoa bila kita merencanakan untuk berdoa, menjadwalkan untuk berdoa dan berkomitmen terhadap rencana dan jadwal tersebut.Berdoa Doa Pagi (bisa dilihat di Puji Syukur atau Madah Bakti atau buku doa lainnya) atau doa-doa lain sebelum meninggalkan rumah selama 10 menit, Rosario selama di kendaraan atau sambil berolahraga selama 20 menit, berdoa sebelum dan sesudah makan (tiga kali makan) selama 5 menit, berdoa bersama istri dan anak-anak selama 10 menit, berdoa Litani Syukur 5 menit dan berdoa Angelus atau Ratu Surga (Jam 12 Siang dan 6 Sore) selama 10 menit. Tambahkanlah itu semua dan kita telah menemukan bahwa kita telah berdoa selama satu jam setiap hari.

Memahami Panggilan Sejati Kita. Bagi kita yang telah terberkati untuk menikah dan memiliki anak, kita harus mengakui bahwa membantu keluarga kita masuk ke surga (bukan ke neraka) dan menjadi seorang suami dan ayah yang baik adalah panggilan sejati kita. Karir bisnis bukanlah panggilan sejati kita. Adalah begitu mudah mengizinkan keluarga kita untuk melayani pekerjaan kita daripada menghabiskan banyak waktu kerja kita untuk melayani keluarga... dan pada gilirannya, keluarga kita untuk melayani Tuhan. (Penjelasan tambahan dari Papist: Mengizinkan keluarga kita untuk membantu atau ambil bagian dalam pekerjaan kita (bekerja sama atau bergotong royong seturut kemampuan) akan lebih mendekatkan daripada kita bekerja sendirian saja. Seorang ayah dapat melihat kepada Allah Bapa yang memberikan kita anak-anak-Nya kesempatan untuk berpartisipasi dalam karya keselamatan-Nya seturut talenta yang kita miliki. Bila Allah saja demikian, mengapa kita sebagai ayah tidak melakukannya? Di samping itu, seorang ayah secara nyata dapat membawa keluarganya untuk melayani Allah melalui pelayanan terhadap sesama. Contoh secara nyatanya? Salah satu contohnya: Para ayah, silahkan bawa keluarga anda berkunjung ke panti asuhan atau panti jompo.)

Investasikan Waktu Kita. Anak-anak kita membutuhkan waktu kita. Taruhlah smartphone, matikan TV, batalkan kegiatan turnamen golf dan habiskan lebih banyak waktu bersama anak-anak kita. Dengan tidak adanya waktu seorang ayah bersama keluarganya, dapat anda pastikan ada pengaruh buruk yang tak terhitung jumlahnya yang siap untuk menggantikan sang ayah dan membimbing anak-anak ke arah yang salah. Saya menguraikan kata-kata Scott Hahn yang sekali waktu berkata bahwa di era modern kita sekarang ini, ayah atau ibu yang bersedia untuk meninggalkan kantor setelah bekerja 40 jam per minggu dengan tujuan untuk memiliki lebih banyak waktu bersama keluarganya adalah pahlawan sejati.

Jadilah Berani. Umat Kristiani diharapkan untuk dapat menonjol, bukan untuk larut tak kelihatan. Kita hidup di masa sulit, masa-masa penuh percobaan. Keluarga-keluarga diserang [oleh budaya-budaya yang buruk dsb], anak-anak kita berada dalam risiko, dan banyak orang menjadi buta akan perlunya menghormati dan menghargai setiap kehidupan. Di samping itu, ateis menjadi salah satu kelompok yang paling cepat berkembang di dunia. Kita sebagai ayah memiliki peluang untuk menjadi lentera terang dan teladan baik dari cinta kasih penebusan Kristus. Kita akan dihakimi suatu hari nanti seturut buat-buah kerasulan kita dan kita berharap mendengar Kristus berkata, �Kerja bagus, pelayan-Ku yang baik dan setia.�

Melepaskan Diri dari Keterikatan Duniawi.Sungguh-sungguhlah bertanya kepada diri kita sendiri apakah kita membutuhkan �hal itu� apapun bentuk atau rupa �hal itu�. Lepaskanlah �hal-hal itu� dari jalan kehidupan doa kita, kehadiran kita dalam Misa bersama keluarga, pemberian derma, membantu secara sukarela (volunteering), waktu bersama keluarga kita dan tentu saja hubungan kita dengan Yesus Kristus. �Pelepasan diri yang efektif dari segala sesuatu yang kita punya dan kita adanya adalah perlu bila kita hendak mengikuti Yesus, bila kita ingin membuka hati kita kepada Tuhan yang datang dan memanggil kita. Di sisi lain, keterikatan pada hal-hal duniawi menutup pintu kita untuk Kristus dan menutup pintu untuk mencintai dan [menutup] terhadap kemungkinan untuk memahami apa yang paling penting dalam hidup kita.� � Francis Fernandez, In Conversation with God.

Mencintai Istri Sepenuh Hati. Para Ayah, anda harus mencintai dan menghargai istri anda; jelas dan sederhana. Anak-anak akan belajar mencintai sesama dengan bagaimana mereka melihat ayah dan ibu mereka saling mencintai satu sama lain. Katakanlah �aku mencintaimu� kepada istri anda dan anak-anak anda sesering mungkin. Tunjukkanlah cinta dan respek kepada istri anda dan hargailah peran penting yang istri anda lakukan dalam keluarga anda. �Hal terpenting yang seorang ayah dapat lakukan bagi anak-anaknya adalah mencintai ibu mereka.� � Romo Theodore Martin Hesburgh, CSC.

Saya memiliki keprihatinan yang serius mengenai anak-anak zaman sekarang dan saya mengetahui tanpa ragu bahwa ayah yang kuat adalah bagian dari solusinya. Tolong sediakan beberapa menit waktu anda setelah membaca artikel ini untuk merenungkan bagaimana anda melakukan peran anda sebagai seorang ayah dan suami. Ambil dan bawalah hasil perenungan anda ke dalam doa atau ke dalam Sakramen Pertobatan dan buatlah sebuah komitmen untuk berubah bila anda rasa itu perlu. Saya yakinkan anda bahwa saya sendiri akan berada dalam Kamar Pengakuan Dosa hari Sabtu ini!

Sebagai lelaki Katolik, kita memiliki tanggungjawab untuk menjadi ayah sekaligus suami yang kuat dan teguh, pemimpin di paroki kita, pelayan yang baik di masyarakat dan pengikut Kristus yang rendah hati. Lihatlah kepada teladan yang menginspirasi dari St. Yosef, santo pelindung para ayah dan pekerja serta santo pelindung Gereja Universal; ketaatannya, kerendahan hatinya, ketidakegoisannya, keberaniannya dan cinta kasihnya yang ia tunjukkan kepada Yesus dan Maria. Bila kita dapat meniru St. Yosef meskipun sedikit saja setiap harinya, kita akan menjadi semakin dekat untuk menjadi lelaki dan ayah seturut panggilan sejati kita. 

Pax et Bonum


Friday, February 24, 2012

Menikah Beda Agama? Nanti dulu!

http://www.archbalt.org/family-life/marriage-family/marriage-preparation/images/Catholic-wedding_1.jpg
Catholic Wedding (sumber: Situs Keuskupan Agung Baltimore)
Saya membaca sebuah artikel mengenai pernikahan beda agama dalam sebuah edisi Buletin Lentera Iman yang ditulis oleh seorang awam bernama Donny Verdian. Opini dari si penulis menarik sekali dan bagus serta mencerahkan. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mempublikasikan ulang tersebut di blog saya dengan seizin pemimpin redaksi Buletin Lentera Iman. Setelah membaca artikel ini, mungkin ada pembaca Katolik yang kurang atau tidak setuju dengan opini dan argumen dari si penulis. Tetapi, saya sangat menganjurkan anda untuk memperhatikan opini dan argumen tersebut sebagai bahan pertimbangan kelak bila seandainya anda akan memilih menikah beda agama.


Menikah Beda Agama? Nanti dulu!


Apa yang barusan terjadi pada seorang teman dekat ketika kuliah dulu, sebut saja namanya Yoga, masih kerap membuatku tak percaya, kenapa hal itu bisa terjadi dan kenapa ia memilih untuk melakukan hal itu. Ah, kalian tentu bingung kenapa tiba-tiba aku bicara soal sesuatu yang tak kalian ketahui sejak awal tulisan ini. Baiklah, sebelum membahas �ini� dan �itu� nya, kuperkenalkan dulu, Yoga temanku tadi. Aku pertama kali mengenal Yoga tepat di hari pertama kuliahku di sebuah universitas Kristen di Yogyakarta, 15 tahun silam. Dan sejak saat itu, ia jadi teman dekat karena selain berasal dari satu kota asal, Klaten, aku dan dia di kemudian hari sama-sama aktif terjun di komunitas mahasiwa Katolik kampus. Sejak saat itu sebenarnya aku tak bisa menyembunyikan rasa hormatku padanya dalam totalitasnya menjaga iman Katolik. Sedikit banyak, ia ikut membangun pondasi imanku karena ketaatannya, idealismenya terhadap iman dan sikap hidup yang selalu dibawakan yang boleh dibilang lumayan �lurus� itu.

Nasib lalu memisahkan kami. Selepas kuliah ia pindah ke Kalimantan sementara aku tetap berada di Jogja hingga akhirnya pada 2008 silam aku memutuskan untuk menikah lalu pindah domisili ke Sydney, Australia hingga sekarang. Melalui Facebook, akhirnya aku dan Yoga �bertemu� lagi tahun lalu dan aku bersyukur karena melalui teknologi itu aku dipertemukan lagi dengan sahabatku itu. Namun melalui Facebook pula aku dibuatnya terkejut ketika kutahu kabar bahwa ia, saat itu, memutuskan hendak menikah dengan seorang gadis yang berbeda keyakinan daripadanya. Yang lantas membuat keterkejutanku memuncak adalah ketika ia dengan bangga menyiarkan kabar bahwa ia telah menikah dengan tata cara agama yang dianut istri, lengkap dengan pengumuman bahwa ia telah resmi pindah agama.

Terus terang sulit untuk dipercaya, orang se- �kuat� Yoga pada akhirnya membuat keputusan radikal dalam hidupnya, meninggalkan iman Katoliknya �hanya� demi sebuah pernikahan yang ia langsungkan.

Hidup Dalam Masyarakat Majemuk

Teman-teman, kisah tentang Yoga di atas bukanlah karangan belaka meski ada beberapa bagian ku-edit demi sebuah pemaparan kasus yang kalian harus juga akui semakin lama semakin kerap terjadi di sekitar kita. Kita hidup dalam masyarakat majemuk yang tak hanya memuat perbedaan suku dan ras namun juga agama yang pada akhirnya membuat kita harus pandai-pandai beradaptasi menerima perbedaan yang ada.

Namun bagiku, sepandai-pandai dan sefleksibel apapun kita menyikapi perbedaan, tetap harus ada hal-hal yang dijadikan pakem untuk dipertahankan, justru demi menjaga supaya kita tetap berbeda dari yang lain. Pakem itu salah satunya adalah agama. Kita boleh memiliki banyak kawan berlainan agama dan kita boleh begitu menikmati pergaulan dengan mereka, namun identitas kita sebagai seorang pemeluk Katolik adalah sesuatu yang tetap harus dipegang teguh. Memang tak mudah, terutama kalau sudah menyangkut perasaan mengasihi lawan jenis, di usia kita yang muda, harus membatasi diri untuk berpikir bahwa sebagai orang Katolik kita harus mencari pasangan hidup yang juga berasal dari seorang dari iman yang sama.

Aku pernah mengutarakan hal ini ke seorang kawan yang mulai mencoba pacaran dengan orang yang berbeda iman dan jawaban mereka cukup spontan, �Tapi kan di kitab suci tidak ditulis bahwa kita tak boleh menikah dengan orang yang beda agama, Don!� Terkadang mereka memang selalu menggunakan dalih demikian.

Mau dengar yang lain lagi? Biasanya begini, �Bukankah ada dibilang bahwa kasih itu lemah lembut, murah hati, sabar dan sederhana� jadi tak perlu dibatasi agama kan?� Setiap aku mendengar alasan-alasan demikian, jawabanku selalu seragam, �Katolik tak hanya didasarkan pada kitab suci. Kalau semua harus tertulis dalam kitab suci, bahkan Tuhan tak menuliskan larangan kalau kita menggunakan narkoba, lho!�

Lalu untuk alasan yang kedua, aku selalu menjawab demikian �Memang benar, itulah sifat-sifat kasih� tapi kamu tak bisa mencomot ayat itu hanya begitu saja...... kamu harus memahaminya dalam rangka karya penyelamatan Kristus yang utuh� dan itu hanya bisa dihayati melalui iman Katolik!�

Setelah mendengar jawabku biasanya mereka hanya manggut-manggut lalu pergi. Keputusan untuk tetap �nekat� melanjutkan hubungan atau tidak tentu bukan urusanku lagi, setidaknya aku sudah merasa melakukan apa yang harus kuutarakan yang mungkin tak mereka ketahui, kan?

Lalu kenapa pernikahan seiman itu penting setidaknya menurutku dan menurut mereka dan kita yang menikah seiman?

Alasan paling mudahnya adalah, jangankan beda keyakinan, menikah dengan sesama pemeluk Katolik pun kadang tak jadi jaminan bahwa keluarganya akan damai dan sentosa sepanjang hidup.

Alasan kedua, pernikahan adalah sesuatu yang suci. Bukannya aku berpendapat bahwa pasangan beragama lain itu tak suci, tapi justru karena batasan suci itu sangat sulit untuk didefinisikan oleh karena kemanusiawian kita, maka untuk apa kita ambil resiko yang �tidak-tidak�?

Lalu yang ketiga, pernikahan beda agama tak jarang ujung-ujungnya membuat salah satu dari pasangan itu mengalah untuk ikut memeluk agama yang dipeluk pasangannya. Belum lagi kalau pasangan itu lalu dikaruniai anak, peluang orang tua untuk mendidik anak dalam ajaran Katolik pun tak lagi 100% namun setidaknya fifty-fifty antara Katolik atau agama yang dipeluk pasangan kita. Nah, bayangkan kalau ada orang Katolik menikah dengan orang dari agama lain lantas ke depannya, si Katolik memutuskan untuk memeluk agama yang sama. Kalau ada sepuluh kasus seperti itu dalam setiap paroki dalam setahun, maka bisa dibayangkan akan ada berapa banyak orang Katolik yang pindah agama gara-gara pernikahan?

Kita memang sering terjebak pada pendapat umum �Yang penting kualitas bukan kuantitas� namun bagiku, keduanya penting, kualitas dan kuantitas harus dimajukan bersama selagi bisa! Sebagus-bagusnya kualitas orang Katolik, kalau jumlah kian menyusut, tentu tak lantas menjadi baik lagi adanya.
Iman Proaktif

Kupikir, kunci untuk meredam naiknya angka pernikahan beda agama yang berujung dengan berpalingnya seseorang dari gereja Katolik lalu ikut agama yang dianut pasangannya, adalah perlunya menanamkan sikap iman yang proaktif dari pihak kaum muda Katolik.

Iman proaktif yang kumaksud adalah iman yang tak hanya sebatas �berangkat misa mingguan� tapi lebih dari itu, bagaimana kaum muda harus membawa iman dalam kehidupan sehari-hari dalam pergaulannya, di studi maupun pekerjaannya.

Logikanya, orang muda yang mau membawa identitas Katolik, setidaknya ia memiliki niat untuk lebih dalam lagi mendalami iman bukan sebagai suatu pajangan semata tapi sesuatu yang patut didalami melalui keseharian hidup.

Sikap proaktif juga perlu diwujudkan dalam membuat dan berperan aktif dalam komunitas muda-mudi Katolik di lingkungan gereja/paroki kita. Peran aktif komunitas tak jarang membuat kita memiliki �rumah� yang menyenangkan ketika komunitas tersebut bertumbuh tak hanya jadi tempat �doa� dan ngurus event �Natal� dan �Paskah� tapi menjadi komunitas yang peduli pada pertumbuhan anggota-anggotanya. Sehingga, meski tidak wajib dijadikan aras dasar komunitas, namun siapa yang tak senang kalau akhirnya banyak jiwa muda Katolik yang menemukan �jodoh� dari komunitas itu pula?

Ketika kita sudah terkondisikan demikian, memiliki identitas dan bergaul dengan muda-mudi Katolik lainnya, dalam pemeliharaan Roh Kudus, kita percaya bahwa kita akan semakin dikuatkan ketika kita harus mengambil sikap untuk menikah termasuk berani mengatakan �Tidak� ketika dihadapkan pilihan menikah beda agama terlebih ketika kita tahu bahwa ke depannya ada kecenderungan bahwa kita yang harus pindah agama dan bukannya pasangan kita ke Gereja Katolik.

Orang boleh bilang menikah berlandaskan cinta, namun untuk apa kita berani ngomong cinta kalau kita harus meninggalkan iman kepercayaan kita terhadap Sang Maha Raja Cinta, Yesus Kristus yang kita permuliakan dalam Gereja yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik?


Sumber:
Buletin Lentera Iman edisi 32.
Dipublikasikan dengan izin Pemimpin Redaksi Buletin Lentera Iman. Buletin Lentera Iman adalah Buletin Katolik milik Komisi Sosial Keuskupan Agung Makassar. Indonesian Papist menjadi salah seorang anggota redaksinya. Pax et Bonum

Artikel terkait:

Monday, August 29, 2011

Tanggapan terhadap pasangan non-Katolik yang meminta pasangan Katoliknya untuk keluar dari Gereja Katolik

"Kamu cinta agamamu dan aku juga cinta agamaku, namun di dalam perbedaan agama itu hati kita saling mencintai. Kalau kamu cinta aku, tolong jangan memaksa aku untuk meninggalkan agamaku. Dan saya pun tidak akan memaksamu untuk ikut dengan saya. Cintaku kepada Yesus melalui Gereja Katolik adalah cinta ilahi. Agama itu adalah keyakinan personal masing-masing kepada Allah yang ia percayai. Allah kita satu, tetapi cara dan sudut pandang kita menyembah Allah dan ajaran agama kita mengenai Allah itu berbeda. Dalam Gereja Katolik, diizinkan walaupun sangat tidak dianjurkan untuk menikah beda agama atau beda gereja dengan meminta dispensasi (izin khusus) dari Uskup, tetapi pernikahannya mesti dilangsungkan di dalam Gereja Katolik."
Pernyataan ini berasal dari Pater Sihombing, OFM. Cap menanggapi seorang Katolik yang kebingungan hebat karena diajak oleh pasangannya, seorang umat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), untuk pindah ke HKBP. Pater menganjurkan seorang Katolik tersebut untuk menanggapi permintaan pasangannya itu dengan pernyataan di atas.

Kemudian, Pater tersebut juga berpesan demikian kepada si Katolik ini.

�Kamu harus berusaha mempertahankan imanmu. Tapi katakan kepadanya bahwa biarpun kalian menikah di Katolik bukan berarti calonmu yang HKBP itu langsung menjadi Katolik karena pernikahan itu bukan suatu kesempatan untuk mengkatolikkan orang yang bukan Katolik. Beda misalnya kalau kamu menikah di HKBP. Sebelum hari-H pernikahan kamu �diwajibkan� menjadi HKBP dulu dengan suatu tata cara ibadah penerimaan resmi mereka karena untuk mereka tidak ada pernikahan beda gereja. Di Katolik hal itu tidak ada. Maka seusai pernikahan secara Katolik, pasanganmu yang HKBP itu bisa kembali menjalankan ibadahnya di HKBP, tetapi anak-anak kalian kelak harus dibabtis dan dibesarkan secara Katolik. Itu syarat yang harus disepakati bersama dan tentu dibuat secara tertulis di hadapan imam. Lihatlah betapa sebenarnya Gereja Katolik sangat moderat dan menghormati hak-hak asasi setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing.�

Lalu, si Katolik tadi bertanya demikian:
�Masuk akal jawabannya. Tapi bagaimana dengan dia, apakah dia mau pernikahan Katolik? Di sini aku jadi serba salah.�

Demikian tanggapan dari Sang Pater:
�Persoalannya memang di situ. Apakah dia mau mengerti jalan keluar itu atau tidak. Nah, keputusan terakhir tetap di tangan kalian berdua, terutama di tanganmu sebagai pihak yang merasa kesulitan. Dari pihak Gereja, hanya memberi bimbingan dan arahan untuk seluruh umat supaya di kemudian hari tidak timbul penyesalan yang hebat. Semoga cinta manusiawi tidak mengalahkan cinta ilahi.

Dipublikasikan dengan izin Pater Sihombing dan page Gereja Katolik.

Recent Post